Aroma Luka dan Rindu
Oleh: Mellyan Cutkeumala Nyakman
Ada aroma rasa menusuk labirin rindu. Amis, anyir
menyatu dengan bau pasir yang tersiram asinnya air laut. Menguarkan aroma aneh.
Terasa berat dan pekat. Bulan dan bintang terlihat malu-malu di atas sana.
Sepasang mata menatap Lekat. Tiada suatu apapun kecuali aroma rindu dan debur
ombak. Tiba-tiba kerlip cahaya tertangkap mata, dari jauh hanya titik-titik
kuning yang menyebar. Ketika titik-titik kuning mendekat, ia menyadari itu
cahaya kunang-kunang. Mungkin kunang-kunang yang sama yang bermain bersamanya
dan Maneh 13 tahun silam, Mungkin juga bukan.
Laut sangat ganas malam ini, beberapakali ia harus
menghindari ombak besar yang seolah menyeretnya. Lelaki muda itu merebahkan
tubuhnya di atas pasir, menikmati sisa malam, betah memandangi gelap. Namun,
ada rasa bahagia sekaligus sedih yang menyelusup di hatinya, rasa itu
bergantian menguasai, seolah irama dengan not yang tepat, hingga menghasilkan
simfoni luka. Tak terasa matanya basah. Ia
masih takjub mengamati wujud lautan, bermain bersama debur ombak.
Saat musim Barat, laut lebih ganas dari malam ini.
Bahkan para nelayan terpaksa melabuhkan kapal mereka dan bertahan dari hasil
melaut sebelumnya. Begitu juga Emak dan Bapak. Hanya bisa pasrah dengan suratan
alam.
“Siapa yang mampu melawan alam,” Tanya Bapak suatu
ketika sambil menghembuskan asap rokok ke seluruh ruangan. Maneh tak suka asap
rokok, wajahnya masam. Ia terbatuk-batuk. Tapi untuk protes tak berani.
Rumah nelayan di desa Padang Seurahet berdiri di bibir
pantai, bentuknya seragam: kayu-kayu penyangganya telah lapuk dimakan usia,
dengan cat yang telah pudar terpapar cuaca. Tidak ada bunga atau tanaman hias
di halamannya. Hanya jaring, pukat, kail
dan ikan-ikan yang dijemur. Namun jangan pernah bayangkan mereka merana, nelangsa.
Anak-anak nelayan bermain di laut atau di pantai sepuasnya, tidak ada larangan,
karena sejak lahir mereka sudah disambut deburan ombak. Kecuali jika azan
magrib berkumandang dari meunasah
kecil di desa Padang Seurahet. Para Ibu berteriak memanggil anak-anak mereka.
Magrib adalah waktu pantangan, tidak ada yang berkeliaran.
Suatu hari, Maneh yang saat itu berumur enam tahun
merengek pada sang Ibu. Salmah dengan sabar membujuk putrinya agar segera tidur
siang. Senandung hikayat dan doa-doa ia lantunkan, hingga ia sendiri ikut
terlelap.
Khaidir pulang dan mendapati adiknya masih bermuka
masam, sedangkan sang Ibu tertidur di ruang tamu. Sebenarnya tidak bisa
dikatakan ruang tamu, hanya ada selembar tikar di ruangan itu. Tempat ia
bersama Maneh, Bapak dan Ibunya berkumpul untuk makan malam atau sekedar
bercengkerama. Hampir semua hal dilakukan di ruang itu, mulai dari makan,
belajar, bermain, menerima tamu hingga tidur. Memang mereka mmiliki kamar
tidur, namun hanya satu. Sedangkan Khaidir sudah 13 tahun, terpaksa Bapak
menyiapkan satu kasur tipis tempat Khaidir melepas lelah setiap malam.
Khaidir sangat menyayangi Maneh. Setiap pulang
sekolah, pasti ada hadiah untuk adik kecilnya. Entah itu ilalang yang tumbuh di
pinggir jalan, dicabuti oleh Khaidir dan dirangkai untuk adik tercinta.
Terkadang ia memberi Maneh mainan bongkar-pasang yang ia beli dari hasil
tabungannya. Atau hanya es lilin dan sepotong roti. Semua diterima Maneh dengan
bahagia, ia selalu memberikan tawa terbaiknya untuk Abang tercinta, deretan
gigi depan Maneh yang membusuk dimakan ulat terlihat oleh Khaidir. Khaidirpun
ikut tertawa.
Terkadang jika
sang Ibu terlalu lelah, setelah seharian bekerja mencuci dan menggosok di rumah
orang-orang kaya yang letaknya cukup jauh dari kampung mereka, Khaidir yang
mengambil alih pekerjaan sang Ibu menemani dan menidurkan Maneh. Ia seringkali
mendongeng, menceritakan kisah-kisah yang pernah ia dengar di sekolah pada
Maneh. Terkadang agar cerita lebih berkesan, ia menambahkan kisah itu
sekehendaknya.
Hari itu Khaidir sedang berkisah tentang nama gampoeng mereka, Padang Seurahet. Dahulu
tempat ini tidak ada penduduknya sama sekali, yang ada hanya padang pasir yang
tidak terlalu luas. Tempat ini terletak di pinggir pantai, orang-orang mulai
berdatangan. Mereka memutuskan membangun rumah di padang itu. Mereka perlahan
membangun desa, hingga tempat itu di namakan Padang Seurahet. Pekerjaan
sehari-hari para lelaki yaitu adalah nelayan, penduduk di desa ini hidup dengan
damai dan tenteram.
Maneh terlihat kurang menyimak cerita Abangnya. Namun
tatapan matanya menerawang. Khaidir hafal mimik ini. Pasti adiknya menginginkan
sesuatu. Namun karena ia sedang asyik bercerita, ia urungkan niat menanyakan
perihal mendung yang menggelayut di wajah sang adik.
“Namun ada juga yang bilang kalau gampoeng kita dinamakan Padang Seurahet karena ada seorang nenek
bernama Seurahet yang tinggal di desa ini pertama kali. Kemudian setelah nenek
itu meninggal dinamakanlah Padang Seurahet,” ujar Khaidir sambil melihat wajah
sang adik. Ibu mereka masih terlelap. Maneh masih merengut.
“Kenapa Maneh? Sudah tak suka dengan cerita Abang,?”
tanyanya.
“Suka, tapi Maneh mau tiup lilin seperti Mariani,”
“Oh, Mariani anak Pak Agus tempat Ibu menggosok ya,?”
Pertanyaan itu hanya dibalas anggukan dan tatapan
nanar dari mata bening milik Maneh.
“Ya sudah, nanti kita beli lilin,”
“Tapi ada kuenya juga,” rengek Maneh.
“Kue coklat yang besar,” mata Maneh berbinar
membayangkan kue lezat itu.
“Abang janji akan membelikan Maneh kue dan lilin, tapi
sekarang tidur dulu,” rayu Khaidir.
Waktu berjalan dengan lambat, namun purnama akhirnya
menyapa, anak-anak Padang Seurahet berlarian di bibir pantai, ditemani api
unggun yang dibuat oleh Ayah mereka. Begitu pula Maneh dan Khaidir. Namun jika bulan
sedang malu-malu dan tidak menampakkan wujudnya, mereka seringkali bermain
bersama kunang-kunang yang selalu bertandang ke gampong itu.
Sudah seminggu sejak Maneh merajuk ingin kue dan lilin
seperti milik Mariani. Khaidir masih melihat adiknya sering merengut. Ia tahu
pasalnya, sebab kue dan lilin belum mampu ia beli. Namun Khaidir berjanji dalam
hati kalau ia akan memenuhi keinginan sang adik. Pernah ia minta pada Bapak,
namun lelaki berkulit gelap itu menolak permintaan Khaidir.
“Jangan kamu ikut perayaan orang, lagi pula kita tidak
punya uang,” ujar sang Ayah.
Sedangkan Ibunya sibuk dengan pekerjaan rumah, dan
pekerjaan-pekerjaan berat lainnya. Terlihat acuh ketika Khaidir mengutarakan
keinginannya agar membelikan lilin dan kue untuk Maneh. Malam itu, saat mereka
berkumpul di rumah, udara terasang menyengat. Beberapa kali Maneh mengigau
dalam tidurnya. Bapak hanya memakai sarung dan bertelanjang dada, sang ibu
memilih daster tipis yang sudah penuh tambalan. ***
Di sinilah Khaidir malam ini, 13 tahun yang lalu di
malam yang sama saat ia ingin membelikan Maneh kue dan lilin. Saat lidah ombak
yang telah menemaninya sejak lahir berkhianat untuk bertama kalinya. Saat tanah
tempatnya berpijak berguncang, dan membawa ombak menerjang kampungnya,
menerjang Negerinya. Membawa hampir seluruh penduduk Gampoeng Padang Seurahet. Termasuk Ibu, Bapak dan Maneh. Ombak
tidak hanya membawa keluarganya, tetapi juga Padang Seurahet. Tidak ada lagi tanah
tempat rumah-rumah didirikan. Semua hilang ditelan ombak yang murka 13 tahun
silam. Kini pada Seurahet menjadi desa yang hilang, beberapa penduduknya yang
selamat telah membangun asa di tempat baru.
Termasuk dirinya, keajaiban masih membuatnya menatap
laut pekat malam itu. Bermain bersama kunang-kunang. Dan menikmati aroma rindu
sekaligus luka. Setelah siang tadi perayaan 13 tahun peringatan tsunami diadakan
di bekas desa Padang Seurahet. Ya, perayaan, besar-besaran, para pejabat
datang, termasuk Bapak Bupati, semuanya larut dalam doa.
“Maneh, sekarang setiap tahun ada perayaan untukmu, bukan
dengan lilin dan kue. Melainkan doa-doa indah dari seluruh negeri,” gumam
Khaidir sambil berlalu dari bibir pantai.[]
Meulaboh, 26 Desember 2017
Komentar
Posting Komentar