Menanti Kabut di Pucuk Para (3)
Malam itu udara kering menyapa penduduk Gampong Ujong
Rimba, wajah Abah terusik sesuatu. Ia meminta seluruh tetua gampong kembali
berkumpul.
Mereka kembali mengadakan pertemuan, di Seuramoe keu, kopi-kopi telah dihidangkan.
Ubi, ketela, jagung, kacang rebus terhidang. Abah hari itu mengenakan kain
sarung dan baju putih. Peci bertengger menutupi rambut yang telah memutih. Sambil
menghidangkan minuman dan makanan, Ceudah menangkap pembicaraan mereka. Sekitar
20 petua adat hadir, di antaranya Peutua
Seunebok, Keujreun Glee, pawang glee, termasuk beberapa pemuda. Tentu saja
Zarkasyi juga hadir. Sebagai anak panglima
uteun, ia harus tahu permasalahan hutan. Meskipun nantinya pemilihan
panglima uteun ditentukan dari suara
terbanyak. Para wanita berkumpul di Seuramoe
Tengah. Mereka menyimak pembicaraan.
“Sepertinya kita harus mengulang apa saja adat uteun, adat hutan kita,” ujar Abah
dengan suara berat. Kemudian ia membuka lembaran-lembaran kertas yang telah usang.
Di dalamnya tercatat aturan-aturan hutan yang menjadi pedoman bagi panglima Uteun.
“Saya mengulang ini agar anak-anak muda yang hadir
hari ini lebih menghargai aturan warisan endatu, karena nanti setelah kami
tiada, negeri ini menjadi warisan bagi kalian,” ujar sang Panglima terlihat
tenang sambil menyesap kopi.
“Tradisi pengelolaan hutan yang arif bijaksana telah dipraktekkan secara
turun temurun dalam masyarakat Aceh. Khazanah adat budaya masih melekat dalam
kehidupan sebagian masyarakat Aceh sebagai sebuah kearifan lokal yang masih ada
terutama pada kemukiman yang wilayahnya berdekatan dengan kawasan hutan. Fungsi
utama yang harus dilakukan oleh Panglima Uteun adalah menyelenggarakan adat
glee. Menegakkan norma-norma adat yang berkaitan dengan etika memasuki dan
mengelola hutan adat atau meuglee.
Memberi nasihat dalam mengelola dan
memanfaatkan hutan. Petunjuk perjalanan dalam hutan sehingga jangan sampai
orang tersesat, atau mendapat gangguan dari jin dan binatang-binatang buas
lainnya,” Panglima berhenti, kemudian melanjutkan, menatap para pemuda yang di
pundak mereka ia sandarkan harapan untuk menjaga tanah warisan leluhur ini.
“Panglima Uteun mengawasi
dan menerapkan larangan adat glee. Yaitu dilarang memotong pohon tualang,
kemuning, keutapang, glumpang, beringin dan kayu-kayu besar lainnya dalam rimba
yang dianggap sebagai tempat bersarang lebah. Ini merupakan pantangan umum,
yang apabila dilanggar dapat merugikan orang banyak, karena siapa saja boleh
mengambil madu yang bersarang di pohon-pohon besar itu. Dilarang memotong
kayu-kayu meudang ara, bunga merbau, dan kayu-kayu besar lain yang bisa
dijadikan perahu atau tongkang, kecuali atas seizin dari panglima,”
“Tanda larangan lain yaitu dilarang memotong sebatang kayu dalam rimba
yang sudah ditetak sedikit kulitnya dan di atasnya dililit akar kayu yang
disangkut dengan daun-daun. Demikian juga, dilarang orang mengambil kayu yang
sudah ditumpuk-tumpuk oleh seseorang yang di atasnya diletakkan sebuah batu.
Batu itu berarti tanda bahwa kayu yang bertumpuk itu telah ada yang punya. Panglima
berfungsi sebagai hakim dalam menyelesaikan setiap perselisihan dalam
pelanggaran hukum adat glee. Dalam suatu perundingan, panglima uteun atau
kejruen glee terlebih dahulu meminta dan mendengar semua keterangan dari para
pawang glee, kemudian setelah itu kejruen glee memberi hukum atau keputusan,”
“Dalam mengelola hutan adat untuk dijadikan ladang atau kebun meuglee,
sistem pengelolaannya berkaitan erat dengan adat seuneubok. Seuneubok adalah
suatu wilayah baru di luar gampong, yang pada mulanya berupa hutan adat yang
dikemudian dijadikan kebun. Pembukaan seuneubok harus selalu memperhatikan
lingkungan untuk menghindari hal buruk bagi anggota seuneubok dan lingkungan,
terutama bagi perlindungan sumber air.
“Dalam pembukaan lahan baru, terdapat aturan-aturan yang telah
dipraktekkan oleh masyarakat seperti larangan penebangan pohon dalam jarak
tertentu. Jarak 1200
depa atau kira-kira 600 meter dari sumber mata air, danau, waduk, alue, dan sebagainya.
Namun menanam pohon sangatlah dianjurkan. Jarak 120 depa dari kiri-kanan sungai
besar tidak boleh ditebang pohon, tidak boleh dimiliki, karena adalah milik adat
yang manfaatnya juga untuk kepentingan bersama. Sebagai penyangga bencana dari
datangnya banjir dan tanah longsor,” Suara sang Panglima
lantang, suasana hening hanya sesekali terdengar nyanyian jangkring.
“Pohon yang berjarak 60 depa dari kiri-kanan anak sungai tidak boleh
ditebang, namun menanamnya sangat dianjurkan sebagai milik bersama. Dilarang
menebang pohon di puncak gunung dan daerah lereng yang terjal. Juga dilarang
menebang pohon d ipinggiran jurang yang jaraknya kira-kira dua kali kedalaman
jurang.
Selanjutnya dalam memilih lahan lokasi pembukaan kebun, menurut adat
uteun dan adat seuneubok perlu juga dipertimbangkan posisi letak lahan
berdasarkan kemiringan utara-selatannya sesuai dengan siklus edar cahaya
matahari. Dalam pemilihan lokasi atau lahan untuk kebun --juga bagi peruntukkan
lahan untuk kepentingan lainnya– perlu mempertimbangkan kearifan lokal yang
dalam hadih maja dinyatakan dengan
"Tanoh siheet ue timue pusaka jeurat, siheet ue barat pusaka papa,
siheet ue tunong geulantan, dan siheet ue seulatan pusaka kaya. ("Tanah
yang miring atau menghadap ke timur adalah pusaka untuk kuburan, miring ke
barat pusaka untuk orang papa, miring ke utara tanah yang menang, dan miring ke
selatan pusaka kaya). Berarti, menurut endatu, lahan yang baik adalah lahan
yang menghadap atau miring ke utara atau ke selatan.
“Selain tata cara memilih arah lahan, terutamanya untuk lokasi kebun,
menurut adat uteun dan adat seuneubok dikenal pula beberapa pantangan.
Pantangan Jambo. Artinya, jambo atau pondok ataupun gubuk untuk berteduh atau
bermalam atau dijadikan rumah, tidak boleh didirikan di tempat lintasan
binatang buas dan makhluk halus penghuni rimba, dan bahan pondok tidak boleh
menggunakan kayu bekas lilitan uroet karena dipercayai akan mengundang ular
masuk ke pondok tersebut. Kemudian Pantangan Darut (hama belalang). Orang-orang
yang berladang pantang menggantung kain pada pohon, meneutak parang pada
tunggul pohon, dan ceumecah, menebas semak dalam hujan. Semua pantangan ini
tidak boleh dilanggar, karena dipercaya mendatangkan wabah belalang, jutaan
belalang akan menyerbu kebun tersebut. Terakhir pantangan dilarang
berteriak-teriak sambil memanggil-manggil di ladang karena jika melanggar adat ini
dipercaya akan dapat mendatangkan hama tikus, rusa, kijang, monyet, tikus dan
landak. Inti dari larang ini adalah larangan ria dan bersenda gurau secara
berlebihan,”[1] Itulah aturan endatu yang
yang telah turun temurun kita pegang teguh.
“Dari kabar angin saya
mendengar ada pihak-pihak yang ingin mengambil tanah kita. Saya sangat berharap
kita semua dapat mempertahankan warisan ini dengan baik. Terlebih kepada
anak-anak muda. Kami generasi tua sangat berharap banyak kepada kalian,” ia
berujar sambil menatap wajah-wajah pemudan di hadapannya.
Setelah memberikan nasehat,
Panglima membubarkan pertemuan itu, tidak jelas apa yang telah terjadi, namun
cukup aneh ketika panglima uteun itu
membacakan aturan-aturan Uteun yang
selalu ia pegang teguh. Seolah firasat, seolah sesuatu akan terjadi.
Komentar
Posting Komentar