Menanti Kabut di Pucuk Para (4)


Hari berlalu dengan cepat, semuanya berjalan dengan baik, Cudah masih sering menenun, saat purnama ia bersama teman-temannya berkumpul di bawar rumah panggung menyaksikan anak-anak bermain petak-umpet. Meskipun penerang hanya dari obor yang dipasang sekeliling rumah, purnama di atas sana cukup menambah suasana semakin syahdu.  
Dalam hidup, selalu ada kejutan-kejutan. Entah itu menyenangkan ataupun menyakitkan. Begitu pula bagi hidup Ceudah, sang Panglima dan tanah mereka.  Tak sampai 40 hari setelah ia mengumpulkan para tetua dan pemuda, di malam ia membacakan kembali aturan adat hutan. Hari ini gampong Ujong Rimba kedatangan tamu, orang-orang itu berpakain rapi, mengenakan berkemeja dan berseragam. Datang jauh-jauh dari Kabupaten menemui sang Panglima.
“Jadi ada apa tamu jauh datang bertandang ke gubuk saya,” ujar panglima di seuramoe keu.
“Jadi begini, kami ingin menyampaikan program tentang pembukaan lahan baru. Dan kita ingin membuka lahan di daerah sekitar hutan Gampong Ujong Rimba,” ujar Bapak berseragam bernama Hadi, sepatu dan rambutnya sama mengkilap.
“Sebagai Panglima Uteun, saya menyampaikan bahwa apa yang kita lakukan selama ini dengan hutan sudah berjalan dengan baik Pak, sudah ada wilayah hutan untuk masyarakat mengambil hasil hutan, namun hutan terlarang, pantang bagi kami untuk mengusiknya Pak,” ujar Panglima tenang.
“Namun alangkah baiknya jika pengelolaan diserahkan kepada yang berwenang,” ujar Hadi.
            “Tapi saya sebagai Panglima Uteun berwenang mengelola hutan adat ini,”
            “Mohon maaf sekali ini Pak, tapi siapa yang memberi kewenangan kepada Bapak?” tanyanya, bibirnya menyunggingkan senyum. Sinis.
“Sudah kami warisi turun temurun,” jawab sang Panglima tenang.
Pembicaraan itu berlangsung alot. Tak berujung hingga azan zuhur berkumandang. Akhirnya orang-orang dari Kabupaten itu pulang dengan tangan kosong. Namun hati sang Panglima gundah, ia yakin mereka akan kembali.
Setelah itu, berkali-kali mereka datang menemui panglima, wakil panglima uteun, hingga Keujuren dan Petua Seunebok. Semuanya bergeming. Mereka tak mempan dibujuk rayu dengan rupiah, begitupun mereka bertahan dengan segala umpatan.
“Ini saatnya kita pertahankan apa yang seharusnya menjadi milik kita, warisan kita kepada anak cucu kita,” ujar Sang Panglima dalam duek pakat, musyawarah bertukar fikiran mencari cara mempertahankan tanah mereka.
Orang-orang itu datang untuk kelima kalinya. Sang panglima dan penduduk desa sudah siap dengan segala jawaban.
“Ayolah Pak, kita bekerja sama. Nanti hasil dari pembukaan lahan bisa kita bagi dengan…,” ucapan Hadi disambut cepat Panglima.
“Maaf Pak, kami tidak menjual hutan warisan,” jawab Panglima tegas.
“Baiklah, kalau Bapak-Bapak sekalian tidak biasa diajak bekerjasama. Padahal dengan menyerahkan semuanya pada kami, kalian akan mendapatkan imbalan setimpal,” ujar Hadi.
            “Bagaimana panglima, banyak sekali jumlah rupiah yang bsia panglima dapatkan dengan melepas hutan itu,” ujar Hadi, kembali melancarkan rayuannya.
Panglima bergeming, rautnya menyimpan kesal. Hidung mancungnya sampai kembang kempis menahan amarah.
“Sudah berapa kali saya katakan tidak, dan sejuta kalipun kalian meminta, jawabnnya tetap sama,” suara panglima tegas, sorot matanya tajam.
“Kalau begitu berikan surat tanah atas rumah ini, kebun milik panglima, dan hutan-hutan yang panglima kuasai,” ujar Hadi lagi, diikuti anggukan dari rekan-rekannya.
“Apa? surat tanah,?” tanyanya.
“Iya surat tanah,” Jawab Hadi tegas.
“Kalau anda punya surat tanah kami pergi sekarang juga, lagipula kami kan bekerja untuk masyarakat juga,” gerutunya.
Seketika Panglima limbung. Hatinya gundah mendengar perkataan Hadi. Dan bukan ia pemilik tanah-tanah warisan, ia hanya menjaganya. Untuk tanah, rumah dan kebunnya. Sudah diwarisi keluarganya hampir dua raus tahun, kakek buyutnya adalah pembuka lahan. Tentu saja mereka tidak memiliki surat tanah. Di kampung itu, semuanya berjalan atas dasar kepercayaan, ketika ada yang melanggar, adat memiliki cara sendiri memberi hukuman.
Untuk batas-batas tanah, semua orang memahaminya. Yang bersebelahan dengan tanah Panglima adalah milik Kejeuren Blang, batasnya di pinggir sungai, berbatasan dengan pohon Meranti hitam. Demikian mereka biasa menandai tanah milik masing-masing.
Bagaimana mungkin tiba-tiba orang asing di hadapaannya meminta sesuatu yang tidak ada. Surat Tanah.
                                                                                    ***

Mata itu masih mata yang sama. Sepasang bola mata coklat dengan alis melengkung indah yang menatap takjub pucuk Para, menunggu datangnya kabut. Puluhan tahun berlalu, mata itu masih indah. Namun seolah kehilangan cerlangnya. Tak ada lagi pesona dan binar indah, kini tinggal kelabu dan sendu. Seolah menyimpan penyesalan yang teramat dalam. Ia masih merindu Kabut di Pucuk Para.
Kini, 40 tahun telah berlalu, tiada lagi gambaran indah Gampong Ujong Rimba, tidak ada lagi panglima, ratna Keumala, sang Ibunda, rumah panggung, dan alat tenun kesayangannya.  Bahkan Zarkasyi baru meninggal beberapa minggu yang lalu. Semua kenangan tentang desanya ia simpan erat dalam sudut hati terdalam. Terkadang ia buka kembali memori itu dengan memejamkan mata, membayangkan keelokan desa itu, saat hujan dan setelahnya adalah kenangan paling indah sekaligus menyakitkan, karena kini ia tak bisa lagi mencium aroma rumput basah yang tertimpa hujan. Tak ada lagi kerbau-kerbau yang digembala para pemiliknya dalam rintik hujan, tak ada lagi pisang, ubi rebus dan segelas kopi untuk menghangatkan tubuh. Dan tak ada lagi kabut yang perlahan turun menyelimuti pucuk Para.
Ia masih menyimpan rahasia, rahasia yang menjadi penyesalan seumur hidupnya, saat mengetahui rencana Abang dan teman-temannya menggadaikan warisan endatu. Membeberkan rahasia, penduduk Ujong Rimba tidak memiliki surat tanah, meskipun tanah itu telah ratusan tahun mereka jaga. Tanah dan warisan yang tak ternilai harganya. Penyesalan yang akan terus ditanggungnya, jika saja ia memiliki keberanian, mungkin ia tidak akan kehilangan kabut itu. Saat itu ia masih terlalu muda dan takut mnegadukan itu kepada sang Ayah. Ia takut Panglima murka dan Abangnya celaka. Ia takut kehilangan keluarganya yang harmonis. Ternyata ketakutannya telah menyebabkan ia kehilangan segalanya, tak hanya keluarga, juga tanah dan hutan yang seharusnya diwariskan untuk anak-cucu.
 Kini ia tinggal Bersama cucunya di rumah berbeton indah. namun ia tak dapat menemukan keindahan di rumah itu. Tak ada kepak sayap merpati yang dulu saban hari ia beri serpihan roti, tak ada lagi rumah-rumah panggung, semua terganti keindahan semu. Hutan itu kini berubah kebun sawit, penghasil rupiah, sebagian milik Abangnya yang kini diwarisi anakanak dari sang kakak. Ia sendiri memilih tinggal jauh di pinggir kampung. Bersikukuh tidak mau menerima bagian yang diberikan oleh Zarkasyi. Dan meskipun ia tahu, kabut tak mungkin lagi bertandang, matanya selalu merindukan kabut turun di pucuk Para. *** Tamat




Komentar

Popular Posts

Bukti Perkasa Inong Aceh

Menanti Kabut di Pucuk Para (3)

RUMAH TIRAM TAK LAGI TEMARAM