Postingan

Tulisan Unggulan

RUMAH TIRAM TAK LAGI TEMARAM

Gambar
Oleh: Mellyan   Perempuan-perempuan tangguh itu merelakan kecantikannya pada terik mentari dan pekatnya lumpur sungai demi menyambung hidup. TUBUH PARA perempuan tiram berlumur lumpur dan peluh, teriknya matahari menyengat kulit. Kulit berubah legam, namun semangat mereka tak pernah surut.  Pagi hari, setelah menyelesaikan kewajiban di rumah, melepas sang suami melaut. Para perempuan tiram bergegas menuju sungai. Desa Alue Naga dan Tibang sejak dahulu memang terkenal sebagai penghasil Tiram. Untuk mengurangi sengatan matahari, para perempuan tiram menggunakan pakaian tertutup, dan memakai topi lebar yang terbuat dari anyaman daun nipah. Habitat tiram yang berada di dasar sungai memaksa para perempuan tiram berendam. Tak jarang kaki mereka terluka tajamnya kulit tiram. Kaki-kaki telanjang itu hanya dibungkus kain yang diikat dengan tali. Menggunakan sepatu hanya akan menyulitkan mereka bergerak di dalam lumpur. Mariati dan perempuan pencari tiram lainnya dapat berta

Menanti Kabut di Pucuk Para (4)

Hari berlalu dengan cepat, semuanya berjalan dengan baik, Cudah masih sering menenun, saat purnama ia bersama teman-temannya berkumpul di bawar rumah panggung menyaksikan anak-anak bermain petak-umpet. Meskipun penerang hanya dari obor yang dipasang sekeliling rumah, purnama di atas sana cukup menambah suasana semakin syahdu.   Dalam hidup, selalu ada kejutan-kejutan. Entah itu menyenangkan ataupun menyakitkan. Begitu pula bagi hidup Ceudah, sang Panglima dan tanah mereka.   Tak sampai 40 hari setelah ia mengumpulkan para tetua dan pemuda, di malam ia membacakan kembali aturan adat hutan. Hari ini gampong Ujong Rimba kedatangan tamu, orang-orang itu berpakain rapi, mengenakan berkemeja dan berseragam. Datang jauh-jauh dari Kabupaten menemui sang Panglima. “Jadi ada apa tamu jauh datang bertandang ke gubuk saya,” ujar panglima di seuramoe keu . “Jadi begini, kami ingin menyampaikan program tentang pembukaan lahan baru. Dan kita ingin membuka lahan di daerah sekitar hutan Gampong

Menanti Kabut di Pucuk Para (3)

Malam itu udara kering menyapa penduduk Gampong Ujong Rimba, wajah Abah terusik sesuatu. Ia meminta seluruh tetua gampong kembali berkumpul. Mereka kembali mengadakan pertemuan, di Seuramoe keu , kopi-kopi telah dihidangkan. Ubi, ketela, jagung, kacang rebus terhidang. Abah hari itu mengenakan kain sarung dan baju putih. Peci bertengger menutupi rambut yang telah memutih. Sambil menghidangkan minuman dan makanan, Ceudah menangkap pembicaraan mereka. Sekitar 20 petua adat hadir, di antaranya Peutua Seunebok, Keujreun Glee, pawang glee, termasuk beberapa pemuda. Tentu saja Zarkasyi juga hadir. Sebagai anak panglima uteun, ia harus tahu permasalahan hutan. Meskipun nantinya pemilihan panglima uteun ditentukan dari suara terbanyak.   Para wanita berkumpul di Seuramoe Tengah. Mereka menyimak pembicaraan. “Sepertinya kita harus mengulang apa saja adat uteun , adat hutan kita,” ujar Abah dengan suara berat. Kemudian ia membuka lembaran-lembaran kertas yang telah usang. Di dalamnya t

Hikayat Negeri Terapung [4]

Gambar
FICTION <<<<< Cerita Sebelumnya Bagian 4  Kisah Sebelumnya: Seperti Hasanuddin, semua orang di Kampung Terapung ingin membuat Proposal untuk mendapatkan uang bagi korban konflik Aceh. Tak terkecuali Ramlah, seorang ibu tunggal yang harus menghidupi kedua anaknya dengan mencari ikan. Konflik telah membuat Ramlah kehilangan suaminya. Bersama Sabariyah, tetangganya, Ramlah berusaha untuk membuat proposal di warnet milik Zaid. Waktu berjalan cepat hingga negeri ini kembali dihentak. Setelah air bah menggulung negerinya, perlahan wajah negeri itu berbenah, meskipun luka masih terlihat di sana-sini, namun luka itu dijaga agar tidak membusuk. Tempat tinggalnya pun tak luput dari air bah, menggulung Desa Terapung. Ia hanya sempat berlari menyelamatkan nyawa bersama kedua anaknya, beruntung Ramlah tidak mengungsi seperti korban lainnya, bahkan ia tidak kehilangan anggota keluarganya, karena keluarganya tinggal di kaki bukit, jauh dari laut.  Jika dib

Hikayat Negeri Terapung [3]

Gambar
<<<<< Cerita Sebelumnya Bagian 3 Kisah Sebelumnya: Kedatangan Hasanudiin, peria yg dulunya paling miskin di Kampung Terapung, dengan membawa banyak uang membuat heboh. Seperti Hasanuddin, semua orang ingin membuat Proposal bagi warga daerah konflik Aceh untuk mendapatkan uang. Tak terkecuali Ramlah, seorang ibu tunggal yang harus menghidupi kedua anaknya dengan mencari ikan. Bersama Sabariyah, tetangganya, Ramlah berusaha untuk membuat proposal di warnet milik Zaid. Sejak kedua orangtuanya meninggal, Yusuf hanya tinggal bersama Sabariyah. Mungkin terkadang ia terlalu keras mendidik cucu semata wayangnya. Ayah dan ibunya meninggal saat ia masih berumur dua tahun. Mereka mengunjungi saudara yang sakit, di kampung sebelah,  ternyata jarak antara Desa Terapung dan kampung sebelah itu terlalu jauh. Sampai Yusuf membutuhkan jarak tak terhingga untuk mengetahui keberadaan mereka. “Hmm, jadi bagaimana Nek, kita lanjutkan?,” tanya Zaid. “Ya,ya tentu saja,”