RUMAH TIRAM TAK LAGI TEMARAM



Oleh: Mellyan
 Perempuan-perempuan tangguh itu merelakan kecantikannya pada terik mentari dan pekatnya lumpur sungai demi menyambung hidup.


TUBUH PARA perempuan tiram berlumur lumpur dan peluh, teriknya matahari menyengat kulit. Kulit berubah legam, namun semangat mereka tak pernah surut. 

Pagi hari, setelah menyelesaikan kewajiban di rumah, melepas sang suami melaut. Para perempuan tiram bergegas menuju sungai. Desa Alue Naga dan Tibang sejak dahulu memang terkenal sebagai penghasil Tiram. Untuk mengurangi sengatan matahari, para perempuan tiram menggunakan pakaian tertutup, dan memakai topi lebar yang terbuat dari anyaman daun nipah. Habitat tiram yang berada di dasar sungai memaksa para perempuan tiram berendam.

Tak jarang kaki mereka terluka tajamnya kulit tiram. Kaki-kaki telanjang itu hanya dibungkus kain yang diikat dengan tali. Menggunakan sepatu hanya akan menyulitkan mereka bergerak di dalam lumpur. Mariati dan perempuan pencari tiram lainnya dapat bertahan dalam pekatnya lumpur hingga enam jam.

Setelah mendapatkan tiram, pekerjaan para perempuan itu belum usai, mereka harus melepaskan isi tiram dari cangkangnya yang keras. Dengan lihai Mariati menggunakan parang tajam mengeluarkan tiram dari cangkang. Dalam sehari Mariati dapat mengumpulkan tiram sebanyak 10 kaleng susu kental manis atau setara dengan tiga ons. Satu kaleng dihargai Rp.10.000., dalam sehari Mariati dapat mengumpulkan uang sebesar Rp. 50.000., dari hasil mencari tiram. Menjelang sore hari, saat laut mulai pasang, mereka bergegas pulang.

“Kalau saya biasanya banyak dapat, karena sudah biasa, lumayanlah, bisa dapat uang tambahan,” ujar Mariati sambil tertawa. Umurnya 43 tahun. Sejak kecil ia akrab dengan sungai dan lautan. Nada bicaranya tenang, logat Acehnya terdengar khas.

Bertahun-tahun berendam di dalam rawa-rawa ataupun sungai berlumpur, para perempuan tiram tidak pernah menyadari bahaya yang mengintai mereka. Hasil penelitian dari Poltekes Depkes, menyebutkan bahwa perempuan yang merendam di laut memiliki resiko sangat tinggi terkena gangguan reproduksi. Bahkan bisa mengarah ke kanker serviks.
                                                           ***
PERJALANAN SAYA ke Desa Alue Naga disambut gerimis. Terpaan angin laut menggoyang jejeran pinus sepanjang jalan menuju ALue Naga. beberapa muda-mudi terlihat bercengkerama di pinggir sungai. Pernah diluluh lantakkan tsunami pada 26 Desember 2004, puing-puing jembatan di pinggir laut yang membelah Desa Alue Naga merupakan bukti nyata dahsyatnya tsunami 15 tahun silam.  Perahu beraneka warna terlihat bersandar di dermaga, beberapa di antaranya tergeletak di pinggir pantai. Jelas terlihat Desa itu kian berbenah. Selain pinus dan laut, di sepanjang jalan juga telah dibangun kios-kios yang menjual segala macam keperluan dan hasil laut.
Saya bersama beberapa Ibu pencari tiram menelusuri pinggiran sungai yang kini terlihat berbeda. Ribuan ban menggantung. Ban-ban itu diikat pada seutas tali yang dikait pada pipa yang terlihat kokoh. Rumah tiram itu kini menjadi tempat menggantungkan asa. Kaki tempat kami menapak dipenuhi kulit tiram, tanahnya hitam dan gembur. Sesekali kami melintasi air yang menggenang.

Tiram adalah sekelompok kerang-kerangan dengan cangkang berkapur dan relatif pipih. Menurut Wikipedia, Tiram sejati adalah semua bivalvia yang termasuk keluarga Ostreidae. Bukti mengenai konsumsi tiram pada manusia telah terjadi sejak jaman purba dengan ditemukannya berupa bukit kerang yang berupa cangkang tiram. Temuan ini terbanyak berada di pantai dan diperkirakan tiram merupakan sumber daya yang melimpah ketika itu dan menjadi makanan utama penduduk pesisir. Tiram merupakan sumber sengzat besikalsium, dan selenium juga Vitamin A dan Vitmin B12. Namun tiram merupakan makanan yang rendah energi dengan 12 ekor tiram hanya mengandung 110 kilo kalori. Tiram dipercaya memiliki efek afrodisiak. Penelitian menemukan bahwa tiram mengandung asam amino yang cukup tinggi dan dapat meningkatkan kadar. Mineral seng yang terkandung dalam tiram juga membantu pembentukan hormon testosteron.
Sosok yang berjasa atas inovasi rumah tiram adalah Ichsan Rusydi, 33 tahun. Pemuda berkacamata ini menyahuti keinginan Teungku Jamaica untuk melakukan budidaya tiram di dalam ban. Yang kemudian lebih popular disebut rumah tiram.
“Saya katakan saat itu, kita pelajari dulu, kita lihat. Bagaimana bentuk teknologi yang diinginkan tersebut,” ujar Ichsan Rusydi.
Ichsan memperhatikan metode budidaya tiram yang diperlihatkan Teungku Jamaica di Youtube. Namun metode tersebut menurut Ichsan akan menghabiskan biaya hingga milliaran rupiah.

Kemudian, Teungku Jamaica yang memiliki nama Syardani M. Syarif ini menyampaikan keinginannya melakukan budidaya tiram dengan media ban, bambu ataupun kayu. Bentuknya simple, ban digantung di bagian bambu atau kayu.
Foto: Ichsan Rusydi/Instagram
Namun menurut Ichsan, teknologi rumah tiram dengan menggunakan bambu tidak akan tahan lama. Hanya bertahan dua tahun. Bahkan saat panen, bilah bambu dapat melukai tangan.

“Begini sajalah, kasih saya waktu tiga minggu untuk mempelajari persoalan ini,” pinta Ichsan pada Jamaica saat itu.


Tanpa membuang waktu, Ichsan menuju Alue Naga hingga Desa Lamteungoh Aceh Besar. Ia melakukan survey mengenai persoalan yang dihadapi para pencari tiram. Ketika itu, pencari tiram yang sebagian besar perempuan berendam hingga berjam-jam demi mencari tiram. Setelah mengantongi permasalahan yang dihadapi nelayan tiram, Ichsan kembali menemui Teungku Jamaica. Saat itu Jamaica berpesan, untuk dilakukan yang terbaik, yang terpenting permasalahan yang dihadapi masyarakat pencari tiram terselesaikan.


Tak lama berselang, teknologi rumah tiram dapat diwujudkan. Pada mulanya teknologi yang diusulkan dalam bentuk proposal ke LPSDM Aceh ini, berjudul Pelatihan Perikanan Budidaya Tiram.


Teknologi rumah tiram ini kemudian ditawarkan kepada masyarakat. Ichsan melakukan pendekatan dan diskusi dengan masyarakat. Ia mengenalkan program rumah tiram dengan menggunakan pipa yang dicor dengan semen. Kemudian ban-ban digantung sebagai tempat tiram berkembang biak.


Pendekatan tersebut dilakukan Ichsan dengan tujuan memastikan membutuhkan masyarakat akan teknologi tersebut. “Biasanya masyarakat yang telah terbiasa dengan metode tradisional akan sulit menerima kehadiran teknologi. Sebagian masyarakat beranggapan, jika di alam bebas, jumlah tiram yang didapat tak terbatas.,” terang Ichsan.


Padahal menurut Ichsan, tiram di alam lebih terbatas. Persaingan dengan sesama pencari tiram pun sangat ketat. Ia mencontohkan, jika tiram yang ukuran kecil dibiarkan tidak diambil, tak lama kemudian tiram itu akan diambil oleh nelayan lain.


Teknologi rumah tiram yang ditawarkan ke masyarakat menerapkan pola bermitra. Masyarakat tak diberikan barang jadi, melainkan merakit rumah tiram bersama-sama. Sehingga menumbuhkan rasa memiliki masyarakat terhadap teknologi yang ditawarkan tersebut.


Nilai gotong royong dan rasa memiliki masyarakat terhadap rumah tiram ini sangat tinggi. Karena komponen berupa pipa, ban dan bahan lainnya dirakit bersama-sama. 


“Kita belikan komponennya, kemudian dirakit bersama. Sehingga jiwa memiliki masyarakat terhadap teknologi ini ada. Kalau ada yang ingin menganggu, pasti masyarakat bersama-sama akan mencegahnya,” terang Ichsan.


Lahan mencari tiram merupakan milik umum. Siapa pun boleh mengambil tiram di sungai itu. Namun disaat ada karya orang lain, yang dikerjakan dengan keringat sendiri, masyarakat akan merasa memiliki terhadap hasil kerja keras tersebut. Menjaga agar tidak diusik oleh orang lain.

Foto: Ichsan Rusydi/Instagram
Menurut Ichsan, sistem kemitraan sengaja dibentuk untuk menghadirkan rasa tanggungjawab terhadap barang yang diberikan. Terlebih, barang tersebut dirakit bersama. Selama ini, sebagian besar bantuan pemerintah yang diberikan kepada masyarakat, terima jadi. Jika barang rusak, maka masyarakat tidak merasa bertanggungjawab terhadap barang bantuan tersebut.
Saat konsep ini ditawarkan, masyarakat juga diajak terlibat langsung dalam mengerjakan kegiatan, sehingga rasa memiliki tumbuh dengan sendirinya. Hal tersebut terbukti, apa yang ditawarkan untuk pengembangan teknologi rumah tiram, masyarakat melakukannya dengan senang hati.
Para lelaki memanggul pipa, mengikat besi, dan mengecor pipa dan secara gotong royong mengangkut calon rumah tiram itu ke sungai. Kemudian, secara bersama-sama pula menggantung ban di sisi kiri dan kanannya. Pihaknya memberikan peralatan untuk pembuatan rumah tiram, berupa ban bekas, tali tiang beton, semen, keranjang, hingga sampan.
Saat panen tiba, rumah tiram tinggal ditarik ke permukaan. Tiram yang sudah menempel di ban, dipindahkan ke dalam keranjang. Di ban itu, tiram berkumpul. Konsepnya sederhana, namun sangat bermanfaat. Masyarakat nelayan yang sebelumnya mencari tiram dengan cara beremdam, bisa mendapatkan tiram dalam jumlah yang lebih banyak tanpa perlu berlama-lama di dalam air. Tinggal naik sampan, tiramnya dipanen, lalu dibawa pulang ke rumah untuk dikupas.
“Pertumbuhannya enam bulan, sudah bisa panen. Alami saja, natural. Saya uji lab juga. Hasil panennya besar-besar,” ujarnya Ichsan tersenyum.
Menurut Ichsan, ukuran tiram saat panen bisa mencapai lebih dari tujuh centimeter. Melebihi ukuran standar untuk ekspor, seperti di Singapura, yang rata-rata hanya berukuran lima centimeter.
“Tiram kita berpotensi besar untuk diekspor. Kita sedang berupaya membangun komunikasi dengan teman-teman di luar negeri, supaya kita bisa ekspor,” jelasnya.
Hingga saat ini, program rumah tiram masih berjalan dengan baik. Terutama di Desa Tibang dan Alue Naga. Kehadiran rumah tiram tak hanya menguntungkan secara ekonomi, tapi juga kesehatan masyarakat setempat.
Rumah tiram menggantung ke permukaan. Tiram yang awalnya hidup di dasar sungai dengan logam berat yang tinggi, akan hidup di permukaan di dalam ban. Saat ini, di Desa Alue Naga, sudah terpasang lebih dari 8000 ban untuk rumah tiram.
Berdasarkan hasil riset yang dilakukan oleh Mukhlisin, dosen Universitas Syiah Kuala (Unsyiah), ditemukan bahwa tiram di Alue Naga memiliki kadar cadmium tinggi, mencapai 0,093. Padahal baku mutunya hanya 0,01. Sehingga jika dikonsumsi akan mengganggu kerja tubuh, terutam darah. Cadmium akan mengikat di dalam darah, menjadi stroke bahkan kanker.
“Cadmium ini logam berat, berbahaya jika masuk ke tubuh, tiram mengandung logam berat karena hidup di dasar perairan,” terangnya.
Cadmium dikenal juga dengan sebutan air baterai. Buangan dari limbah bengkel yang mengalir ke sungai, bisa menjadi salah satu penyebab. Bukan karena tiramnya penghasil cadmium atau logam berat itu, tapi karena tiram adalah hewan filter feeder atau hewan penyaring yang memakan partikel dan materi organik dengan metode pengisapan atau penyerapan. Hal tersebut yang menyebabkan tingginya logam berat dalam tiram.
Tiram hidup di dasar perairan, semua limbah industri dan rumah tangga mengalir ke dalam endapan, di mana tempat tiram tumbuh. Tiram yang memiliki sifat filter feeder dan daya tahan tubuh yang kuat. akan menyerap semuanya.
Kini, setelah menggunakan sistem rumah tiram, terbukti lebih sehat. “Alhamdulillah terbukti lebih sehat. Logam berat juga dibutuhkan tubuh, tapi jangan berlebihan, berbahaya. Sepuluh tahun kemudian baru terasa, kejang, stroke,” ucapnya.
Setelah panen pertama, Ichsan mengambil sampel tiram dari hasil rumah tiram untuk uji lab. Hasilnya cukup menggembirakan, timbal awalnya 0,04 menjadi 0,01. Cd atau cadmiumnya awalnya tinggi, 0,93 menjadi 0,01.
“Hasilnya sangat baik dan aman dikonsumsi. Sekarang tiram di Aleu Naga sudah higienis,” ujarnya.
Meski demikian, sempat muncul keraguan dalam masyarakat yang beranggapan, meski tiram tumbuh dalam ban, tetap mengandung logam berat yang diserap dari ban. Padahal dari hasil lab, terbukti tiram dari rumah tiram aman untuk dikonsumsi.
Proyek rumah tiram ini estimasinya menghabiskan Rp. 38 Juta, dengan 3.800 ban untuk sekali proyek. Satu orang 100 ban. Jika ada sepuluh orang, berarti seribu ban.
Ichsan berharap, masyarakat bisa menambah sendiri sesuai kebutuhan.
Dalam satu unit rumah tiram, terdapat 4000 ban sebagai tempat tiram hidup dan berkembang biak. Sekitar 10 sampai 15 ban setiap hari dipasang di rumah tiram, sehingga dalam setahun minimal ada 3.600 ban untuk rumah tiram.
Setelah enam bulan, ban yang dipasang pertama sudah bisa dipanen. Begitu juga dengan ban kedua, ketiga, keempat dan seterusnya. Sikulsnya terus berputar. Jika dalam satu ban menghasilkan tiram empat kaleng susu ukuran 250 gram, dengan harga jual Rp10.000, maka masyarakat akan mendapatkan Rp40.000. Jika ditotal secara keseluruhan keuntungan yang didapat dalam enam bulan, dengan modal Rp38 Juta, maka akan menghasilkan Rp80 Juta.
Ichsan mengakui, bahwa kemunculan rumah tiram tak terlepas dari peran Teungku Jamaica. Terutama dalam hal branding. Jamaica sering membawa tamu-tamu penting dari berbagai kalangan untuk melihat rumah tiram, termasuk dari Jepang. Mereka kaget melihat model budidaya tiram yang ada di Aceh, dengan menempel. Di Jepang, tiram digantung di air. Rumah tiram juga pernah menerima kunjungan Puteri Indonesia Aceh.
“Teungku Jamaica berperan besar, dia yang punya duit, kita yang punya ilmunya. Untuk mengangkat derajat nelayan dan ibu-ibu pencari tiram,” ujar Ichsan.
Kehidupan nelayan tiram menarik perhatian para peneliti, hingga pemerintah Aceh. Tahun 2015 Teungku Jamaica, lelaki kelahiran 1977 silam, menawarkan proyek yang dianggarkan melalui Lembaga Pengembangan Sumber Daya Manusia (LPSDM) Aceh. Setelah menawarkan ke beberapa pihak, sampai akhirnya berlabuh pada sosok Ichsan Rusydi, dosen Fakultas Kelautan dan Periknan Universitas Syiah Kuala (Unsyiah). Kini proyek tersebut membuahkan hasil, para perempuan tiram tak lagi diintai penyakit dan kualitas tiram juga meningkat.
 **
Anugerah Satu Indonesia Award
MENDAPATKAN ANUGERAH Satu Indonesia Award merupakan bonus dari kerjakeras Ishsan dan tim Yayasan Pendidikan Kemaritiman Indonesia. Tahun 2016, ia memanggil beberapa mahasiswanya untuk mengikuti program Bina Desa Dikti. Konsepnya mengangkat daerah destinasi wisata, satu desa satu produk (one village one product). Saat itu, tiram menjadi produk unggulan.
“Misalnya Alue Naga, terkenal tiram, itu saja kita kembangkan. Mulai dari budidaya sampai ke pengolahan,” terangnya Ichsan.
Para mahasiswa binaan Ichsan kemudian mendaftar dan lolos tahap pertama. Namun ditahap selanjutnya, mereka tidak lagi datang untuk bimbingan, mereka gagal.
Ternyata, tanpa sepengetahuan Ichsan, para mahasiswa itu mendaftarkan proposal ke Astra, program Satu Indonesia Award. Tim Astra turun ke lapangan. Mahasiswa membawa tim Astra ke laboratorium, hingga menanyakan masyarakat dan pihak mana saja yang ikut terlibat dalam program rumah tiram ini. Para mahasiswa itu bingung, karena mereka memang tidak terlibat langsung. Akhirnya mereka menemui Ichsan. Ia membawa tim Astra menemui masyarakat yang menerima manfaat dari rumah tiram.
“Saya kenalkan dengan masyarakat. Masyarakat yang bicara. Berhasil tidaknya masyarakat yang menilai. Mereka penerima manfaatnya. Diskusi langsung dengan mereka tentang rumah tiram,” jelas lelaki yang aktif di karang taruna ini.
Lalu Ichsan bertanya ke tim Astra, ini program apa? Mereka kaget, karena Ichsan tak tahu jika ia merupakan calon juara Satu Indonesia Award 2016. Pihak Astra menjelaskan mengenai program satu Indonesia Award yang diberikan kepada pemuda pemudi yang berkontribusi pada bidang Pendidikan, kemaritiman, dan sebagainya.
“Mereka mengatakan, sampai pada tahap ini, belum tentu menang. Masih ada beberapa tahapan lagi, termasuk presentasi,” kenang Ichsan.
Tahun 2016, peserta Kampung Berseri Astra (KBA) mencapai 2.340 proposal. Diseleksi menjadi 24 kelompok. Hingga akhirnya diundang 12 kelompok untuk presentasi di Jakarta. KBA 2016 memiliki enam kategori, yaitu teknologi, lingkungan, kewirausahaan, pendidikan dan kesehatan. Masing-masing kategori dipilih dua kelompok.
Setelah melakukan presentasi di hadapan para dewan juri yang sangat kredibel di bidangnya, Ichsan dan mahasiswa bimbingannya dinyatakan sebagai pemenangnya untuk kategori teknologi.
“Award, piala dan penghargaan ini bukan target kita, itu hanya bonus. Kita melakukan dengan niat baik, semua sudah Allah desain seperti itu. Apa kelebihan kekurangan itu Allah yang tahu, kita sebagi hamba, mengabdi, berbuat. Sudah selesai, berhasil alhamdulillah, ini secara kebetulan saja,” ujar ayah dua putri ini.
Ichsan juga dipanggil sebagai kick off satu Indonesia award 2017. Saat itu berbagai media memberitakan mengenai kemenangan satu Indonesia Award ini. Mulai dari media nasional hinggal lokal. Saat salah satu media lokal yang menuliskan tetang pelopor rumah tiram menjadi inspirasi, mulai memunculkan berbagai pertanyaan, karena yang dikenal selama ini adalah Teungku Jamaica.
“Saya hanya orang yang berada di belakang layar. Karena ini uang rakyat yang Jamaica usahakan,” kata Ichsan. Menurutnya, Jamaica sosok yang peduli dengan masyarakat.
Sejak saat itu, sempat terjadi gesekan antara Ichsan dengan Jamaica. Menurut Ichsan, hal itu hanya persoalan miss komunikasi saja. Efek framing media. Jamaica juga sempat menuliskan artikel yang dimuat di salah satu media lokal di Aceh, tentang pelopor rumah tiram.
“Tidak apa-apa, itu hak beliau. Kan saya enggak minta pelopor, sebagai penggangas. Sudah selesai sampai di situ,” ucapnya.
Teungku Jamaica merupakan sosok penting pada masa pergerakan Aceh Merdeka. Ia memiliki keahlian di bidang komputer. Ia gemar mengutak-atik computer, menginstal program, serta melakukan percobaan terhadap sofeware terbaru. Menurut jumpueng.blogspot.com, Ia dahulu menjabat sebagai juru bicara Tentara Negara Aceh (TNA) sayap militer Gerakan Aceh Merdeka (GAM).
Namun dimasa damai ini, ia ingin lebih bermanfaat untuk masyarakat. Dengan bantuan Badan Rehabilitasi dan Rekonstruksi (BRR), ia pernah membuka sekolah gratis untuk anak-anak korban konflik, korban tsunami dan anak-anak kurang mampu.
Di sisilain, Ichsan berharap penghargaan itu dapat memberikan nilai tambah bagi masyarakat. Program Kampung Berseri Astra (KBA) kembali menggerakkannya untuk menginisiasi pertemuan dengan dekan dan dosen di Fakultas Kelautan dan Perikanan Unsyiah. Sehingga melahirkan satu kesepakatan kerjasama antara Rektor Unsyiah dengan Kepala CSR Astra untuk melaksanakan program KBA.
Tahun 2017, pembinaan masyarakat melalui program KBA pun dilakukan melalui pemberian beasiswa dan pendampingan. Hingga kemudian, tahun 2018, Astra menunjuk Filantra sebagai mitra KBA di seluruh Indoensia.
“Saya sebagai pengontrol saja saat ini,” ungkapnya.
Ichsan menyampaikan, tantangan paling berat selama ia menjalankan program rumah tiram adalah adanya perasaan iri hati dari masyarakat. Ketika satu orang mendapat bantuan, yang lain merasa risih. Hal itulah yang sedang dibenah bersama pemerintah dan pihak kampus.
Ia berharap, masyarakat bisa sejahtera dengan hasil alamnya. Tiram memiliki nilai tambah dari sisi ekonomi, sehingga ketersediaan sumber daya alam bisa memberikan manfaat yang luar biasa bagi masyarakat.
“Memang butuh perjuangan, kita tidak berhenti disini saja untuk berbuat. Ide-ide yang brilian kita tampung, kita pelajari, sehingga bisa dirasakan manfaat oleh orang banyak,” ujarnya.
Selain sebagai insitiaor lahirnya KBA di ALue Naga, Ichsan juga terlibat aktif di berbagai penelitian. Termasuk yang sedang dilakukan saat ini, meneliti tentang udang windu, di Aceh Besar.
Alumni Pascasarjana Perikanan Brawijaya ini tidak akan berhenti sampai di tiram saja. Banyak komoditi yang harus dipelajari. Dengan harapan, masyarakat bisa lebih makmur. Memiliki nilai tambah. Ia mencontohkan, harga tiram awalnya hanya Rp.8000, sekarang mencapai Rp.15 ribu.
“Bahkan sudah dijadikan kerupuk tiram dan peyek tiram,” ungkap lelaki kelahiran 1986 ini.
Tidak dapat dipungkiri bahwa kehadiran Kampung Berseri Astra (KBA) di Desa Alue Naga, bermula dari kemenangan Ichsan dan mahasiswanya pada program Satu Indonesia Award tahun 2016. Saat itu proyek rumah tiram sudah selesai, tidak ada rencana untuk mendapatkan penghargaan apapun. Semua atas dasar pemberdayaan.
“Negara ini sangat kaya, begitu pula Aceh, hasil lautnya bukan hanya tiram. Kita punya beragam ikan, udang, lobster, cumi dan hasil alam lain. Saya ingin mengembangkan hal lain dengan penelitian-penelitian yang bermanfaat bagi masyarakat,” ucap Ichsan.
IWAN YANUARSA, Branch Manager Bank Permata Syariah Banda Aceh, sekaligus Coordinator Group Astra Banda Aceh menjelaskan, Kampung Beseri Astra launching tahun 2017, ikut dihadiri Walikota Banda Aceh. Kampung Beseri Astra lahir berkat MoU antara Unsyiah dan Astra. Pemda sebagai bapak asuhnya.
“Apapun inovasi yang kita dapatkan dari Unsyiah, bisa kita terapkan,” ujar Iwan.
Dipilihnya Alue Naga sebagai kampung binaan, dikarenakan potensi budidaya tiram yang dapat dikembangkan dari segi wirausaha yang menjadi salah satu pilar KBA.
Iwan mengatakan, pada dasarnya, pihak Astra mendukung usaha yang sudah dilakukan oleh Unsyiah bersama Ichsan Rusydi dan mahasiswanya yang menciptakan media ban sebagai rumah tiram. Dampaknya cukup berhasil. Para pencari tiram tidak perlu lagi berendam hingga berjam-jam, karena dapat memberikan efek negatif bagi kesehatan, terutama permasalahan reproduksi bagi perempuan.
Selain wirausaha, KBA juga memiliki pilar Pendidikan. Pada pilar ini, anak-anak yang dipilih untuk diberikan beasiswa ditentukan dari hasil rembuk warga dan keuchik. Mereka juga diberikan pelatihan tentang perbankan bagi usia dini, dengan berbagai games dan doorprize.
Untuk pilar kesehatan, KBA bekerjasama dengan dinas kesehatan. Astra membantu peralatan dan memantau perkembangannya. Untuk pilar lingkungan, KBA menjadikan kampung bersih. Gotong royong dilakukan secara rutin, juga penanaman bibit jahe yang nantinya bisa diproduksi dengan bagus bersama Unsyiah.
“Sifatnya banyak pelatihan. Memang yang menonjol di permukaan adalah tiram. Tapi tidak menutup tiga pilar yang lain,” ujarnya.
Iwan menerangkan, Group Astra Banda Aceh, terdapat beberapa yang berkantor penuh, di antaranya Bank Permata dan Astra Daihatsu. Selain itu ada kantor perwakilan, Garda Otto dan Asuransi Astra Buana.
“Programnya ada siklus lima tahunan. Kalau dirasakan perlu dilaukan perpanjangan proram, akan diperpanjang,” tutupnya.
Kaswindi setiap hari berjumpa dengan masyarakat binaan di Desa Alue Naga. ia merupakan fasilitator Kampung Berseri Astra. Berbagai program yang berpijak pada empat pilar, yaitu kesehatan, pendidikan, lingkungan dan wirausaha berjalan dengan baik.
Seperti program Pendidikan yang telah dipetakan permasalahan di lapangan. Pihanya berharap semua anak mendapatkan pendidikan layak. Astra telah memberikan beasiswa kepada 37 siswa di Desa Alue Naga. Selain itu, juga memeberikan pelatihan membaca kepada para orang tua. SD 72 Alue Naga, kini menjadi binaan Astra. Adapun kriteria penerima beasiswa, yaitu yang membutuhkan, dari segi ekonomi dan orangtuanya kurang mampu.
Di bidang lingkungan, program kebun hijau, gotong royog rutin, Perilaku Hidup Bersih dan Sehat (PHBS), juga berjalan dengan baik. Di bidang kesehatan, setiap bulannya ada posyandu.
“Target kita tidak ada gizi buruk,” ujar Kaswindi.
Untuk bidang wirausaha, Astra menargetkan Alue Naga menjadi desa yang produktif dengan memanfaatkan potensi yang ada. Kaswindi mengatakan, dalam waktu dekat pihaknya akan mengembangkan peyek tiram dan nugget. Sedangkan kerupuk tiram, sudah berpenghasilan Rp1 Juta.
Menurutnya, hal utama yang harus dilakukan adalah membangun semangat masyarakat. Tidak bisa langsung dibangun semangat wirausahanya.
“Karakter mereka keras, tidak semudah apa yang kita ucapkan langsung dilakukan,” ucap lelaki kelahiran 1993 ini.
Ia menceritakan, gotong royong yang mulanya hanya dilakukan empat orang, kini masyarakat sudah bersemangat untuk berpartisipasi.
Pengembangan wirausaha sudah berjalan empat kelompok. Astra mengedukasi dengan memberikan pelatihan pengolahan tiram, packaging hingga pemasaran.
“Kita undang tim ahli, kerjasama dengan Unsyiah untuk training motivasi berwirausaha,” ujarnya.
Kaswindi menyampaikan, Astra menargetkan masyarakat dapat hidup makmur, dengan yang penghasilan baik. Karena itu, akan didirikan koperasi. Menurutnya, teknologi rumah tiram sangat membantu masyarakat.
“Dulu ibu-ibu masuk ke sungai, basah-basahan sampai kedinginan. Sekarang menggunakan ban, tiram lengket di situ, tinggal dipanen. Enggak usah lagi nyemplung ibu-ibunya,” ujar alumni Teknik Pertaniaan Unsyiah ini.
Lelaki yang memang gemar bersosialisasi ini selalu mengingat pesan salah satu dosennya. Kala itu, ia sempat mengeluhkan sulitnya menghadapi masyarakat pesisir.
“Tidak ada orang yang sulit, tergantung bagaimana kita perlakukan dia. Kalau bagus kita perlakukan, otomatis dia akan baik,” kenang Kaswindi, menirukan pesan dosennya.
Kaswindi merupakan pemuda asli Takengon. Ia pernah menjabat Sekretaris Jenderal Badan Eksekutif Mahasiswa (BEM) Unsyiah.
“Saya masih ingat kata-kata dosen saya, memang membangun desa itu tidak semudah yang kita bayangkan,” katanya.
Ia melihat, program yang ditawarkan oleh Astra berkelanjutan. Berbeda dengan program desa yang lain, sekali datang kemudian ditinggalkan. Menurutnya, hal yang menarik dari program Astra, tidak hanya diberikan uang lalu selesai. Tapi bagaimana berinteraksi dengan masyarakat, belajar bersama mereka, sampai selesai programnya.
Meski tantangannya lumayan berat, namun ia sangat menikmati hal tersebut. Ia berharap, program-program pemberdayaan masyarakat dapat berjalan dengan maksimal. Targetnya, semua masyarakat terberdayakan.
“Baik secara pribadi seperti Ibu Mariati, maupun berkelompok,”
Kaswindi mengakui, untuk saat ini pemasaran kerupuk tiram baru jual ke kedai terdekat. Namun seiring berjalan waktu, melalui jaringan yang dimiliki Astra, kerupuk tiram ditargetkan bisa masuk swalayan dan minimarket.
“Kerupuk tiram ini juga sudah dijual online,” terang pria berkacamata ini.[]
Peran Teknologi dan Generasi Milenials
MARIATI yang mulanya masih menggunakan metode tradisional mencari tiram, kini beralih sebagai pengusaha tiram.  Ia yang dulunya harus menyelam berjam-jam untuk mendapatkan tiram, kini tidak perlu lagi menyelam. Ia bahkan sudah memiliki usaha kerupuk tiram yang diberi label Sinar Naga, Kerupuk Tiram Kak Mar.
Kemasan kerupuk tiram miliknya terlihat menarik, paduan warna biru, merah, ungu dan orange menambah semarak packaging kerupuk tiram miliknya. Nama tersebut dipilih karena ia berasal dari Alue Naga. Berharap dengan kerupuk tiramnnya, Alue Naga makin terkenal dan bersinar.
Harga jual kerupuk tiram Sinar Naga Rp. 80.000 perkg. Untuk kerupuk yang sudah digoreng, sekilo dibanderol Rp. 100.000. Ia juga mengemas kerupuknya dalam ukuran setengah ons, seharga Rp. 15.000. Terkadang dalam sehari ia memproduksi 10 kg kerupuk tiram.
Untuk membuat kerupuk tiram, Mariati menghabiskan sekilo tepung untuk adonan 300 gram tiram. “Agar lebih lezat dan terasa tiramnya,” ucapnya.
Dari program KBA, Mariati mendapatkan pemberdayaan dan pelatihan packaging. Ia juga pernah mendapatkan pelatihan kewirausahaan dari UKM setempat di tahun 2014.
Sekarang, Mariati sudah berhenti mencari tiram. Usaha kerupuknya lebih menjanjikan. Tiram untuk bahan baku kerupuk, ia beli langsung dari nelayan, seharga Rp.10.000.
“Kalau sudah dijual di simpang jalan besar, dekat jembatan, harganya sudah tinggi, Rp. 15.000,” ujarnya.
Sebelum diolah menjadi kerupuk, tiram terlebih dahulu dibersihkan dan dijemur. Kalau matahari terik, proses penjemuran hanya memerlukan waktu dua hari. Marniati memproduksi kerupuk tiram setiap dua hari. Terkadang juga dikirim ke Sumatera dan Jawa.

“Intinya, kalau kerupuknya ada, pasti laku. Kemarin stok terakhir dibeli oleh dosen. Kemana saya pergi, saya sering bawa,” terang perempuan yang kehilangan suami, ketika gempa dan tsunami mengguncang Aceh 14 tahun silam.
Hal yang paling disyukuri oleh Mariati adalah tidak perlu lagi berendam di dalam air untuk mengambil tiram. Karena usaha kerupuknya sudah berjalan. Ia juga membuka warung kelontong, sekaligus warung kopi.
“Dulu ketika panen tiram di ban kita masuk TV,” kenangnya wanita kelahiran Sigli ini sambil tersenyum.
Mariati merupakan korban tsunami yang kini bangkit dari keterpurukan. Ketika tsunami melumat Aceh, ia terseret dari rumahnya di Alue Naga hingga jembatan Krueng Cut, yang berjarak dua kilometer lebih. Ia tak sempat lari, karena rumahnya sangat dekat dengan laut. Ia juga tak tahu kalau setelah gempa, tsunami tiba.
“Dulu kalau gempa malah ke laut, lihat laut kering.
Ia dan anak lelakinya, yang saat itu duduk di kelas lima sekolah dasar, selamat dari musibah maha dahsyat itu. Tapi tidak dengan suami, ibu dan dua anaknya yang lain. Marniati sudah 30 tahun menetap di Alue Naga.
Kini ia sudah merajut kembali masa depannya bersama seorang lelaki yang juga ditinggal istri tercinta karena diamuk tsunami. Anak pertamanya dari pernikahan sekarang, sudah kelas lima SD.
“Ayah anak saya asli Meulaboh, tapi sudah lama di sini. Saudaranya masih ramai di Meulaboh. Di Ujong Karang,” ujarnya. Meulaboh juga merupakan daerah pesisir yang terletak di Aceh Barat.
Meski rumahnya sangat berdekatan dengan laut, bahkan debur ombak terlihat dari teras rumah, namun hal itu tak membuatnya trauma. Baginya, Alue Naga adalah tempat yang menjanjikan untuk menyambung hidup. Para lelaki mencari ikan di laut, para perempuan mencari tiram di sungai.
“Kalau enggak ada uang dari suami, sudah ada sama istri, membantu ekonomi keluarga,” ujarnya.
Apalagi setelah ada usaha kerupuk tiram, kecintaannya terhadap Alue Naga makin besar. Pemasukan dari hasil jualan kerupuk tiram bisa ia manfaatkan untuk memenuhi kebutuhan rumah tangga.
“Alhamdulillah ada pemasukan, kalau lebaran enggak susah lagi. Kalau perlu untuk beli baju anak sudah ada. Seperti lebaran kemarin, banyak yang pesan, dapat sekitar sejuta, udah bisa beli untuk anak, bahkan untuk baju sendiri,” ujarnya sambil tersenyum.
Mariati perempuan yang gesit, ia juga berjualan kacang, peyek, mie Aceh, dan sebagainya. Namun akhir-akhir ini ia merasa lelah. Ia ingin fokus ke satu usaha saja, kerupuk tiram. Berjualan banyak ragam sangat menguras energinya. Belum lagi harus mengurus anak-anak dan suaminya yang sakit-sakitan.
“Mau saya buat yang banyak, untuk letakkan di swalayan. Mau fokus ke kerupuk tiram saja, capek sekali kalau banyak macam,” tegasnya.
Era revolusi industry 4.0 dan segala disrupsi yang dibawa, membuat perubahan dalam setiap tananan kehidupan. Termasuk bagi pengolah kerupuk tiram. Melalui generasi yang lebih muda, mereka mulai memasarkan kerupuk tiram melalui website, dan media sosial. Seperti Instagram kerupuktiram.ac milik Kak Mar, ataupun Natural Aceh Food, ataupun Kerupuk Tiram Ananda.
Fahmi yang saya jumpai di Solong Kopi Ulee Kareng menjelaskan, sebagai admin Kerupuk Tiram Natural Aceh, ia bekerjasama dengan Ibu-Ibu pengolah kerupuk tiram dan ia bekerja sebagai bagian pemasaran dengan sistem bagi hasil.
“Rata-rata setiap bulannya dapat untung sekitar Rp.2.000.000.,, lumayan untuk pemula,” ujar fahmi sambil menyeruput es teh manis yang baru dipesannya.
Natural Aceh Food menjual kerupuk tiram dengan harga Rp. 20.000., per 200 gram. Selain memasarkan melalui media sosial, mereka juga menitipkan kerupuk di toko-toko souvenir.
“Agar tamu dari luar Aceh dapat menikmati lezatnya kerupuk tiram,” ujar Fahmi.
Selain pengolahan tiram dalam bentuk kerupuk dan Nugget, kini juga berkembang usaha masakan rumahan yang dipasarkan melalui media sosial. Seperti Vida_home.cooking, dhapuqueena, mereka menyediakan berbagai varian masakan tiram khas Aceh yang menggugah selera. Seperti Tumis Tirom Aceh, paduan tiram yang kenyal dan manis, dengan bawang, cabai dan asam sunti, sejenis bumbu masakan Aceh berupa belimbing wuluh yang telah dikeringkan. Selain itu, menu tiram yang tidak kalah menggugah di antaranya Tiram Aceh Masak Santan, sambalado tiram, pepes tiram dan sebagainya.  
Foto yang indah dan menggugah akan menarik konsumen untuk mencicipi lezatnya olahan tiram khas Aceh, dan omsetpun meningkat.
***
DI PINGGIR SUNGAI, empat anak perempuan dan satu anak laki-laki sedang mengupas tiram dengan tangan mungil mereka. Namanya Azkia, ia dengan ramah menyambut saya yang sedang melihat-lihat rumah tiram.
“Rumah tiram Itu milik orang tua kami kak,” terangnya sambil terus mengupas tiram.
“Tidak takut tangannya luka?” tanya saya.
“Tidak Kak, sudah terbiasa,” dua tahun yang lalu, saat ia baru mulai membantu sang Ibu mengambil dan mengupas tiram tangannya memang sering terluka, bahkan tirampun ikut hancur. Kini ia semahir orang dewasa.  
Azkia dan Nuri bersekolah di Sekolah Dasar (SD) 46 Lam Ara, sedangkan, Dinda dan Syarif di SD 69 Banda Aceh.
Anak-anak tersebut kini hanya mengutip tiram yang berkembang di dalam ban. Mereka tidak harus berendam. Sambil sesekali membasahi tubuh, mereka bercengkerama dan berlarian.
Mencari tiram menjadi pekerjaan sampingan anak-anak nelayan. Mereka dengan senang hati membantu orangtua, untuk mendapatkan uang jajan atau untuk tabungan.

Keempatnya bercita-cita menjadi guru. “Kami ingin jadi guru kak, kami juga dapat rangking sekolah,” ujar Syifa sambil terus mengupas tiram.
Kulit mereka memerah terkena sinar matahari, namun wajah-wajah polos itu terlihat Bahagia saat saya membeli beberapa mug tiram yang telah mereka kupas.
Gerimis kembali membasahi tanah Alue Naga, beberapa nelayan menebarkan jaring di sekitar rumah tiram, berharap rezeki dari laut.
Anak-anak berlarian pulang, ternyata rumah mereka tidak jauh dari pinggir sungai. Sang Ibu melambai-lambaikan tangan, isyarat bagi anak-anak untuk segera pulang. Sore menjelang, pasang segera datang sayapun bergegas,  menghindari pasang yang segera menutupi tanah gembur dan mangrove di pinggir sungai.***

#IndonesiaBicaraBaik

#KitaSATUIndonesia



Komentar

Popular Posts

Bukti Perkasa Inong Aceh

Menanti Kabut di Pucuk Para (3)