Hikayat Negeri Terapung [4]

FICTION



Bagian 4 
Kisah Sebelumnya:
Seperti Hasanuddin, semua orang di Kampung Terapung ingin membuat Proposal untuk mendapatkan uang bagi korban konflik Aceh. Tak terkecuali Ramlah, seorang ibu tunggal yang harus menghidupi kedua anaknya dengan mencari ikan. Konflik telah membuat Ramlah kehilangan suaminya. Bersama Sabariyah, tetangganya, Ramlah berusaha untuk membuat proposal di warnet milik Zaid.


Waktu berjalan cepat hingga negeri ini kembali dihentak. Setelah air bah menggulung negerinya, perlahan wajah negeri itu berbenah, meskipun luka masih terlihat di sana-sini, namun luka itu dijaga agar tidak membusuk. Tempat tinggalnya pun tak luput dari air bah, menggulung Desa Terapung. Ia hanya sempat berlari menyelamatkan nyawa bersama kedua anaknya, beruntung Ramlah tidak mengungsi seperti korban lainnya, bahkan ia tidak kehilangan anggota keluarganya, karena keluarganya tinggal di kaki bukit, jauh dari laut. 

Jika dibandingkan dengan orang lain yang kehilangan seluruh anggota keluarga dan harta, ia jauh lebih beruntung. Di tengah musibah, ia pulang ke rumah ibunya. Di sana tentu ia disambut gembira, sang ibu tidak lagi kesepian, akhirnya anak dan cucunya kembali menemani. 

Ramlah menyaksikan sendiri bantuan datang dari seluruh penjuru dunia, orang-orang dengan tinggi di atas rata-rata berkulit putih dan bola mata warna-warni serta rambut pirang menjadi ramai sekali di negerinya. Mereka memberi bantuan apapun yang mereka bisa. Adapula orang-orang kulit hitam, legam. Sebagian juga berkulit putih kemerah-merahan dan hidung mancung, mereka berasal dari negeri Padang Pasir. Ada juga mata segaris daun bambu yang menyapa ramah. 

Dua minggu kemudian, di atas puing-puing kota, dengan mayat bertebaran di mana-mana, seakan tidak ada habisnya, Ramlah memaksakan diri melihat rumahnya. Sendiri ia berjalan, tersaruk-saruk di tengah gundukan sampah, seakan ia tidak mengenali lagi kota itu. Padahal puluhan tahun ia melintasi tempat yang sama. Namun tidak ada yang sama setelah musibah besar ini, seakan ia baru saja melewati sebuah tempat mengerikan yang tidak pernah dikenal, sama sekali berbeda, asing. Bau menyengat dari tubuh-tubuh yang mulai membusuk membuatnya mempercepat langkah. Tidak ada yang tersisa, hanya puing-puing dan mayat.

Saat ia menatap kosong ke Kampung Terapung, tepatnya bekas Kampung Terapung, tidak adalagi kampung itu, dari tempatnya berdiri Ramlah hanya menatap laut yang masih menyisakan amarahnya, deru ombaknya membuat Ramlah ciut.  Ramlah hanya mampu menatap kosong, tak ada air mata. Malu rasanya meneteskan air mata, nasibnya masih jauh lebih baik dari yang lain. Namun air mata itu tidak terbendung, tidak ada alasan untuk tidak menangis menyaksikan semua itu. Nestapa negerinya seperti tidak berujung.

****
Hampir setahun setelah bencana dahsyat itu, akhirnya negeri ini sedikit demi sedikit mulai menata diri. Memang bukan hal yang mudah, namun tempaan ratusan tahun membuat mereka mempunyai daya tahan tiada banding, berbenah dalam duka, sedikit demi sedikit menghapus air mata. Mengobati luka, menjaganya kering dan tidak dirubungi lalat. Bukan hal gampang, namun semua berusaha dengan baik. 
Doa-doa dari gubuk tua akhirnya didengar Tuhan. Setelah puluhan tahun bergelut, damai itu datang juga, damai barangkali bukan kata-kata yang begitu penting bagi sebagian orang. Tapi bagi rakyat negeri ini, damai adalah jiwa, adalah suami, adalah anak-anak, adalah ayah, adalah ibu, adalah nafkah, adalah hidup. Lelah akan perang panjang.

Saat perjanjian damai diteken, tiba-tiba lampu di rumah-rumah bersinar lebih terang, anak-anak kembali bermain di halaman rumah, malam hari mereka mulai berani keluar rumah bersama orang tua, teman dan sahabat. Kata-kata damai bagi negeri ini bagai kenikmatan turun dari syurga. Hanya mereka yang pernah merasakan perang yang betul-betul dapat meresapi, merasai apa yang disebut damai. 

Getar bibir Ramlah saat menyebut kata-kata itu. Air matanya tidak terbendung saat mendengar dari pengeras suara di mesjid, kalau damai akhirnya memutus neraka konflik di negerinya. Hanya sujud syukur yang dapat ia lakukan, lalu menangis sesenggukan. Namun hatinya masih menyimpan sangsi, akankan damai ini abadi. 
Satu-satunya pot bunga di depan rumah yang biasanya hanya meninggalkan batang yang hampir layu, entah kenapa luput dari perhatiannya. Kini terlihat mengeluarkan putik, batang ringkih itu berbunga, mungkin itu gambaran hati dan tubuhnya kini, tubuh ringkih itu kini berbunga dengan kata damai. 

Petani mulai menggarap sawah tanpa takut terjebak dalam kontak senjata, pasar-pasar mulai kembali ramai, warung kopi penuh, seperti kue dikerubungi semut. Orang tua mulai membiarkan anaknya bermain bebas. Namun, hanya hati-hati yang pernah dicekat ketakutan yang tahu, sampai detik ini mereka masih was-was akan damai ini. Akankah bertahan, terkadang   kekhawatiran itu jelas terpampang di wajah mereka. 

****
Waktu memang tajam, mengirismu menjadi slice tipis jika tidak berhati-hati. Tidak terasa bertahun-tahun telah sejak kejadian itu. Kemarin, Ainun dilamar seorang laki-laki baik-baik. Ramlah menyetujuinya atas persetujuan Ainun. Sudah banyak lamaran yang ditolak, bahkan ada seorang anak dari tembok perumahan besar itu melamar Ainun, entah di mana laki-laki itu melihat Ainun dan tertarik dengan kecantikannya. 
Kulitnya sedikit gelap, namun mengkilap. Dengan tubuh menjulang, matanya adalah daya tarik, jika itu blackhole, pasti mata itu akan menarikmu masuk. Dan kamu dengan sukarela menyerahkan hidupmu kepada lubang hitam cantik itu. Bola mata hitam pekat, dengan mata besar, alis lebat dan bulu mata lentik. Hidung bangir. Mata itu juga pernah membuat seorang laki-laki paruh baya memohon pada Ramlah untuk menerimanya menjadi menantu. 

Saat itu ingin sekali ia menceburkan laki-laki tidak tahu diri itu ke laut Kampung Terapung. Agar ia sadar dengan giginya yang tingga dua, tubuh tambun penuh penyakitnya, dan kepala botaknya. Namun Ramlah masih cukup sabar dengan mengatakan kalau Ainun masih mau sekolah, jadi belum ia izinkan menikah. 
“Ayolah Ramlah, saya tahu kamu menderita selama ini, kamu akan hidup enak jika Ainun menikah dengan saya,” ujar laki-laki itu.

“Tapi maaf Pak, Ainun terlalu muda, lagipula ia mau sekolah setinggi-tingginya,”
“Untuk membayar sekolah di kampung saja kamu sering menunggak, lagi pula untuk apa sekolah tinggi-tinggi, paling-paling juga tugasnya di sumur, di dapur, di kasur,” laki-laki itu semakin kurang ajar.

Ingin sekali Ramlah menghajar kepala botak itu dengan panci pantat hitam, agar otak konseletnya kembali normal. Tiba-tiba ia rindu sekali pada Rahmat, suaminya tercinta. Jika ia ada, pasti laki-laki tua ini tidak berani macam-macam pada Ainun. Orang-orang pasti merasa segan dengan adanya seorang adam dalam keluarga. 
Akhirnya, semakin gencar meminta, semakin gencar pula Ramlah menolak. Seperti kutub magnet yang berlawanan, semakin didekati semakin menjauh. Akhirnya laki-laki tu itu menyerah, dan mungkin sedang mencari korban baru.

****

Empat bulan lagi ijab kabul diikrarkan. Seorang laki-laki dari keluarga baik-baik telah meminang putrinya, dan sepertinya Ainun jatuh hati pada pria muda itu. Hal itulah yang membuat Ramlah bingung, uang untuk menikahkan putrinya. Walaupun sederhana ia ingin hari itu putrinya yang berhati berlian itu menjadi ratu sehari dan ia sangat ingin membahagiakan Ainun. Walaupun jika ia bercerita pada Ainun, Ramlah sudah menebak jawaban gadisnya.

“Akad nikah itu yang paling penting, bukan pestanya, Mak.” 
Namun jauh di lubuk hatinya, sebagai seorang ibu, Ramlah ingin menghujaninya, sekali saja seumur hidup, dengan kebahagiaan yang belum sempat ia berikan untuk putrinya. Itulah sebabnya Ramlah sangat mengharapkan uang dari Proposal yang dibuat Zaid,
“Begitulah kisah saya Zaid, semoga mereka tersentuh dan mau memberikan bantuan untuk saya,” ujar Ramlah sambil mengusap air yang tiba-tiba menggantung di sudut matanya. 

“Amin, semoga saja Makcek,” jawab Zaid sambil menekan Ctrl+S di keyboard komputer.
“Semuanya Rp.20.000, untuk mengetik, sewa rental dan print,” ujar Zaid.
Tidak mengerti apa yang dijabarkan Zaid, keduanya langsung memberikan uang Rp.20.000 kepada Zaid. 
“Sepertinya cukup. Nanti kalau sudah selesai saya urus semuanya, akan saya kabari, rumah Nenek dan Makcek di desa Terapungkan?” 
“Ya, terima kasih banyak.”


Zaid bin Usman Amir
Paling pintar di kelas, paling muda di kelas, paling kurus, paling hitam, paling mancung. Tapi ia merasa nasibnya paling tidak beruntung. Sebenarnya Zaid anak yang rajin, ia sering membantu ayahnya menggarap kebun coklat. 

“Sebulan lagi kita panen coklat,” ujar Usman Amir pada Zaid.
Usman Amir sedang memeriksa kebun coklatnya, wajahnya cerah, tidak sampai sebulan lagi panen. Hasil jerih payahnya bertahun akan terbayar. 

Kebun itu warisan orangtua, ia menjapat jatah kebun kosong di tepi hutan. Dengan patuh lelaki itu menggarap kebun seluas dua hektar. Sebelum coklat, ia telah mencoba bermacam tanaman lain tapi selalu gagal. Hingga beberapa tahun yang lalu seorang sahabat mengajaknya menanam coklat.  Ternyata ajakan itu berbuah hasil. Coklat di kebun itu besar-besar dan berkualitas baik, menjelang sore, keduanya pulang dari kebun yang berjarak dua kilometer dari rumah.

Di tengah jalan, mereka berdua dihadang beberapa orang berseragam. Kejadian itu berjalan dengan cepat. Zaid yang saat itu berumur lima tahun menyaksikan ayahnya diseret ke hutan. Ia dibiarkan sendirian di hutan. Sedih dan takut memang, namun ia berjalan tanpa tangis ke rumah. Di rumah, ia dapati sang bunda juga menghilang. Rumahnya berantakan sekali. Isi lemari berhamburan, perkakas dapur berserakan di lantai. Tempat tidur kamar ibunya juga berantakan sekali. Dan ibunya menghilang seperti ditelan bumi.

Tinggal Zaid sebatang kara. Nenek dan kakeknya telah lama meninggal, kedua orang tuanya sama-sama anak tunggal, mungkin ada saudara sepupu, namun ia segan dan merasa lebih nyaman hidup sendirian di rumah itu. Coklat-coklat itu mungkin sudah membusuk, atau dipanen monyet hutan. Lama-kelamaan Zaid mulai meninggalkan sekolahnya. 

Hingga empat tahun kemudian, jiwanya selalu terbakar amarah. Sering menggelandang, bekerja apa saja untuk mendapatkan uang, sampai suatu hari ia bertemu Sabri, seorang laki-laki 40 tahun, mengajaknya ke Banda. Awalnya  Zaid tidak tahu tujuannya, karena Sabri mengiminginya pekerjaan, anak itu langsung ikut ke Banda, ternyata Zaid dipekerjakan sebagai pengemis. Tubuh ceking, kulit hitam, rambut memerah, masih berumur 9 tahun, Sabri berfikir Zaid akan menjadi tambang emas, orang-orang pasti iba.

Muak mengemis, Zaid lari dari rumah penampungan Sabri. Tempat itu hanya berupa ruangan yang disekat-sekat dengan tripleks. Tengah malam, saat lelaki tambun itu terlelap, baru saja menerima setoran dari “para pekerjanya”. Saat itulah berbekal uang hasil mengemis hari itu, dan beberapa lembar baju, Zaid bersembunyi di sudut Kota Banda. Tepatnya ia sampai di tempat pembuangan sampah, dan ia melihat orang-orang memulung sampah, dengan cepat Zaid belajar memulung. 

Setiap hari dari subuh, hingga magrib, Zaid mengaduk-aduk timbunan sampah. Tak terasa waktu berjalan begitu cepat. Zaid kini seorang remaja. Mulai merokok, dan sesekali melirik Rahmi, gadis manis yang tinggal di rumah kardus bersama orang tuanya. Ia juga mulai main di terminal dan menjadi kernet labi-labi. 

Rumahnya kini rumah kardus, setiap melihat mahasiswa atau anak-anak sekolah yang menumpang kendaraan umum, hati kecilnya sakit. Keinginan bersekolah yang selama ini ia simpan, ternyata masih menggebu. Rindu pada kampung halaman tiba-tiba menghentak-hentak dadanya. Berbekal uang dari hasil memulung dan menjadi kernet, ia pulang ke kampung.

Pemuda itu seperti debu, kemana angin berhembus, ke situlah ia berlabuh. Zaid laki-laki yang selalu menuruti kata hatinya. Jika tiba-tiba hatinya mengatakan ia pulang, maka ia pulang.  

Hatinya berdesir saat berjalan menuju rumahnya. Jalan berliku, hutan masih rimbun di kiri kanan, rumah-rumah penduduk masih seperti yang dulu, tidak banyak yang berubah, hanya di bagian pusat kota yang terlihat sedikit berubah, ada beberapa bangunan baru.

Rumahnya hampir roboh, doyong ke samping, seperti orang sakit pinggang. Air matanya tumpah sudah melihat rumah tempat ia dilahirkan, daun-daun kering memenuhi halaman, pohon rambutan sedang berbuah, pohon nangka di sudut rumah pun sedang berbuah, wangi nangka menyambut kedatangannya. 

Beberapa laki-laki muda tampak duduk di halaman belakang rumahnya.
“Hai, kamu sudah kembali,” bagaimana kabar Kutaradja?” tanya Hamdi, yang sempat menjadi kakak kelasnya dulu di Sekolah Dasar.
Zaid terpaku menyaksikan pemuda-pemuda itu menenteng senjata. memang letak rumahnya di pinggir bukit kecil dan dekat dengan hutan, merupakan tempat bersembunyi yang cukup aman. 
“Kalian ngapain di rumah saya?”
“Kami hanya memetik beberapa rambutan dan buah kelapa, sudah beberapa hari ini tidak makan,” ujar Hamdi.
“Oh, kalian sudah naik gunung ya sekarang?” pertanyaan bodoh itu meluncur begitu saja dari mulutnya.
“Ya, orangtua saya dibunuh di depan mata, ini satu-satunya cara untuk membalas sakit hati, nasib kita sama dengan kamu, cuma jalan yang kita pilih saja yang berbeda, kamu memilih menjadi orang kota, sementara kami memilih berjuang,” Hamdi menyerang Zaid.
Zaid yang masih kelelahan, tidak menjawab apa-apa. Hatinya ngilu, menjadi orang kota katanya, mengemis, memulung.
“Kalau kamu mau ikut, lusa kami kembali. Kita ke sana bersama,” ujar tiga pemuda itu sambil berlalu.
Zaid masuk ke rumahnya, pintu rumah itu berderit kencang. Bukti selama ini memang telah lama ditinggalkan pemiliknya. Yang diinginkan saat ini hanya tidur, lelah sekali rasanya. Ia rebahkan saja tubuhnya ke atas tas yang dibawanya setelah sedikit menyapu debu yang menyelimuti lantai rumah.

****
Sebenarnya tekadnya sudah bulat untuk naik gunung, namun seorang Tengku mendatanginya dan mengajaknya ke pesantren. Seperti biasa, ia mengikuti kata hati. Dan melangkah lah Zaid bersama sang Tengku ke Pesantren Al-Amin.  Teungku mengajaknya tinggal di pesantren dengan gratis. Ia hanya diminta belajar dengan rajin. 

Karena dahaga akan ilmu, pemuda itu belajar dengan cepat dan paling bersemangat. Padahal ia digabung dengan anak-anak umur 10-12 tahun, dan Zaid telah berumur 18 tahun. di pesantren itu ia belajar banyak hal, dari ilmu agama sampai belajar mengoperasikan komputer. Tiga tahun di pesantren, rumahnya roboh total. Lulus dari pesantren, sisa-sisa kayu itu ia angkut dan dibawa ke dekat kota. Di sudut pasar dekat kuburan itulah ia membangun rumah gubuknya. 

Karena satu alasan pula, ia bertemu dengan Ramlah dan Sabariyah, dua perempuan yang melabuhkan asa pada satu keajaiban bernama Proposal. Namun setelah berbulan-bulan, dan Zaid bolak-balik ke kantor kecamatan, Proposal mereka tidak kunjung cair, malah ia harus memberikan uang berkali-kali, alasannya untuk memuluskan jalan. Namun jalan itu tak kunjung mulus, bahkan semakin berlubang. 

Zaid terus-terusan berusaha, ia juga tidak lelah membujuk kedua perempuan itu untuk percaya padanya, berkali-kali pula mereka memberinya uang. Berbulan-bulan sudah, namun belum juga ada kabar, sampai Zaid segan untuk bertemu dengan Ramlah dan Sabariyah. Ia kini selalu saja menghindar, tentu saja sikap Zaid ditanggapi dengan penuh kecurigaan oleh dua perempuan itu. 

Akibat proposal, ketiganya kini seperti dua ekor kucing dan seekor tikus, si tikus semakin terjepit.  Ramlah kini putus asa, tabungnnya terkuras habis untuk mengurus Proposal, sedangkan pernikahan Ainun di depan mata, untuk makan sehari hari semakin sulit, perempuan malang itu sangat tertekan. Sampai-sampai saat angin kencang, Ramlah sengaja menenteng pukatnya, cepat ia melangkah ke laut yang sedang bergelora, ombak dengan kasar memecah bibir pantai hitam. Sebagian mengenai tubuh Ramlah.

Sepertinya alam merasakan kegundahan hati perempuan itu. Biasanya laut dipenuhi nelayan, namun hari ini hanya Ramlah berdiri dengan tubuh dibalut pakaian serba hitam, seperti mengamini air yang sebentar lagi tumpah dari langit, beberapa perahu yang sedang merapat pulang. Perahu-perahu itu kelihatan seperti kumbang yang merayap di atas permukaan air. 

Badai sedang keras-kerasnya, para nelayan mulai menghilang di balik rinai hujan bersaput kabut kelabu. Awan hitam membentuk payung raksasa menutupi laut, tetes-tetes pertama mulai jatuh, mengenai tubuh Ramlah. Dalam beberapa detik saja Ramlah basah kuyup, saat itulah ia dengan leluasa menangis, menyatu bersama laut yang seolah ikut merasakan kepedihan hatinya. 

Kampung itu semakin kotor dan bau, laut itu semakin kelabu. Seperti foto hitam-putih dengan seorang perempuan penunggu hujan. Perahu-perahu tampak bertebaran, beberapa kayunya retak dan lainnya ada yang patah, perahu perahu itu kelihatan seperti baru saja berperang.(Tamat)


*) Tulisan ini pernah dimuat di Femina (https://www.femina.co.id/) pada Juli 2013 dan keluar sebagai Juara II Sayembara Cerber Femina 2013. 
**) Dimuat kembali di blog ini sebagai upaya pengarsipan tulisan

Komentar

Popular Posts

Bukti Perkasa Inong Aceh

Menanti Kabut di Pucuk Para (3)

RUMAH TIRAM TAK LAGI TEMARAM