Dangderia Cut Abang





Putroe Bungsu hawa keu ticem
Teungku Malem geujak lam rimba
Meuhan meuteumee ticem nyan saboh
Bahle beugadoh bajee ngon ija…[1]
Di desaku, hikayat-hikayat indah sering dilantunkan sepanjang waktu, ditemani bulir-bulir padi nan ranum serta canda tawa anak-anak bermain di pematang sawah. Gunung-gunung menjulang di sisi kiri, dihiasi kabut tipis hingga menjelang siang dan lautan biru terhampar bak berlian di sisi kanan, dengan pulau-pulau kecil yang letaknya tidak terlalu jauh dari bibir pantai berpasir putih.
Terkadang aku sering menantang angin, berdiri di tepi pantai, menikmati saat butir-butir pasir terangkat, melayang dan menyepuh udara. Pasir menempel di rambut, wajah dan pakaianku.
Aku bersama teman-teman sering mandi di laut, sambil mencari umang yang berserakan di pantai, mengisinya dalam kotak korek api, lalu mengadu lari hewan-hewan lucu itu. Lelah bermain, kami duduk menghadap laut dan menebak-nebak bentuk pulau yang terlukis di hadapan kami. Dalam imaji kanak-kanak kami, pulau itu berbentuk buaya raksasa dengan mulut menganga dan onggokan umpan di depannya. Seringkali kami bermain hingga menjelang magrib, biasanya ibu sampai menyusul ke pantai dan menarik kulit perutku karena tidak menggubris azan yang berkumandang di meunasah. Namun dari semua keindahan masa kanak-kanak itu, satu hal mengisi ruang terdalam dan tak akan tergantikan di hatiku.
Orang tua kami melakoni dua pekerjaan sekaligus, bertani dan melaut. Jika musim Barat dan laut berubah ganas, maka orang tua kami turun ke sawah. Setelah musim panen selesai, dengan setia mereka kembali ke laut. Ritme itu telah berjalan turun temurun.
Dingin menggigit kulit, udara pegunungan dan lembabnya angin laut membuat tubuhku menggigil. Betapapun dinginnya, ritual ini tetap harus berjalan. Selesai mengaji di meunasah, kami berlari ke rumah Teungku Razali. Rumah panggung itu berdiri anggun dengan ukiran-ukiran di bagian dindingnya.
Kami berebutan naik ke rumah panggung yang luas. Setelah adegan dorong mendorong di tangga rumah selesai, kami duduk teratur di teras yang lebar. Ajaib, bocah-bocah kampung yang sukar diatur tiba-tiba begitu tertib. Di hadapan kami, di atas tikar pandan duduk seorang pemuda, kami memanggilnya Cut Bang, ia anak Teungku Razali. Obor di halaman rumah meliuk-liuk ditiup angin. Wajah Cut Bang membentuk siluet dari lampu teplok yang dipasang di beberapa sudut rumah. Hidung bangirnya menjulang sempurna.
Aku baru berumur 13 tahun waktu itu, bersama teman-teman sebaya menyaksikan Cut Bang beraksi. Sesekali orangtua kami ikut menikmati tontonan gratis ini. Inilah hiburan bagi kami anak-anak Gampong[2] Cot Ara. Cut Bang duduk bersila, di samping kirinya terdapat sebuah kotak, yang kami sebut kotak ajaib, bagaimana tidak, kotak itu mengeluarkan baju nan indah, topi, baju perang, dan semua yang diperlukan Cut Bang berdangderia. Di sisi kanannya tergeletak senjata kayu mainan. Malam ini Cut Bang akan memainkan Hikayat Malem Diwa, hikayat kesukaanku, karena berkisah tentang seorang putri jelita dari kahyangan bernama Putri Bungsu. Nama putri itu persis namaku, Putro[3] Bungsu. Di malam lain, Cut Bang dengan mahir beraksi membawakan hikayat Prang Sabi, Malem Budiman, Raja Si Ujud, Malem DagangHikayat Aulia Tujoh, serta banyak hikayat lainnya. Aku kagum dengan daya ingatnya, satu cerita bersambung sampai seminggu bahkan dua minggu, namun ia mampu menghafalkannya tanpa cacat. Jika aku punya kemampuan menghafal sebagus itu pasti Teungku Razali tidak melecutku dengan rotan belah tiga karena selalu lupa hafalan Surat pendek Al-Quran. Malam-malam di tahun-tahun berikutnya, saat aku menjelma gadis remaja, mungkin mataku terlalu berbinar hingga mengalahkan cahaya obor dan rembulan saat memandang Cut Bang. Sampai-sampai Nyak Diwan, teman sebayaku sering menggodaku.
“Kalau semua cahaya padam, tempat ini pasti tetap terang benderang,” ujarnya.
“Kenapa?” tanyaku penasaran.
“Cahaya matamu saat memandang Cut Bang, dapat menyinari satu kampung, Putro,” godanya, yang kusambut dengan cubitan kecil di pinggangnya. Untunglah, godaan Nyak Diwan terhenti saat suara Cut Bang mulai mengalun. 
Allah Malem, Allah…e.. Putroe Bungsu
Hawa keu geuchik.. geutem bah mate
Teungku Maleem.. ma e.. adoe.. geujak lam rimba..
Meuteumee.. ma e.. ticem.. manyang bansaboh, dolah..
‘Olheuh nyan gadoh neuk bajee ngon ija..
Seubab geshom.. geuboh.. dara lam gle.. boh ate..
Ngon rapa’i.. Malemdiwa lon rawi…[4]
Saat bercerita tentang Putri Bungsu, Cut Bang dengan cepat mengeluarkan pakaian indah dari kotak ajaibnya. Wajahnya berubah sendu, matanya berkedip-kedip, sehelai selendang menutupi kepalanya, Cut Bang pun menjelma sosok Puteri Bungsu, putri jelita dari kahyangan. Tak lupa Cut Bang juga mengubah suaranya semerdu buluh perindu. Kami semua tergelak, Sabri, temanku yang tubuhnya seperti pohon tua  meranggas disambar petir itu sampai terpingkal-pingkal di ujung sana.
Beberapa detik kemudian, Cut Bang menjelma pemuda gagah siap bertempur memperebutkan Puteri Bungsu. Pedang terhunus di tangan, topi baja melekat di kepala. Sementara bibirnya tak putus-putus menderukan kisah pemuda bernama Malem Dewa yang harus berangkat ke negeri awan untuk menemui kekasihnya. Berbagai karakter dengan cepat berganti. Mulutku sampai menganga, mata tidak berkedip melihat aksi Cut Bang. Yang paling membuatku kesal, Cut Bang seringkali menyelesaikan aksinya disaat cerita sedang seru-serunya. Namun kekecewaan itu dibayar Cut Bang dengan mendendangkan syair-syair Aceh, suaranya mengalun merdu, membelai gendang telinga. Rasanya begitu nyaman dan tenang.
Kisah Malem Diwa bersambung sampai tujuh malam, kami akan setia menunggu kisah  demi kisah, hikayat demi hikayat. Usia Cut Bang Selisih lima tahun denganku, namun kemampuannya berkisah melebihi orang tua di desaku. Ritual menonton aksi Cut Bang juga tidak berawal dari ketersengajaan. Suatu malam, keponakan Cut Bang menangis sampai berjam-jam, Nyak Wa Hasanah terlihat frustasi cucunya tidak berhenti meraung. Karena kehabisan akal mendiamkannya, Cut Bang beraksi di depan Ramli yang baru berumur tiga tahun. Ajaib, Ramli diam melihat Cut Bang berdangderia, bahkan tertawa terpingkal-pingkal.
Boeh ticak boeh ticem, ureung moe ka dikhem, (telur cecak, telur burung, orang menangis sekarang tertawa)” canda Cut Bang sambil menggelitik Ramli. Bocah tambun itu kembali tertawa, menampakkan dekik di pipi kirinya.
Kami semua yang malam itu terganggu dengan tangisan Ramli, akhirnya ikut  menikmati aksi Cut Bang yang membawakan hikayat Cicem Peurakeet. Kisah sekawanan burung di belantara Aceh. Malam-malam selanjutnya, kami meminta Cut Bang beraksi setelah kami selesai mengaji di Meunasah. Dengan senang hati Cut Bang menyanggupinya. ***

Tahun-tahun cepat berlalu, musim panen baru usai, Abah menyimpan gabah di dalam kroeng, tempat penyimpanan gabah berbentuk bulat, tingginya hampir mencapai lantai rumah panggung kami. Rencananya setelah digiling akan di jual ke kota, sebagian lagi disimpan untuk kebutuhan kami setahun. Abah juga tidak pernah lupa menyerahkan zakat dari hasil panennya.
Aku sedang membantu ibu menjemur pliek ue dan sunti[5] di halaman rumah. Saat aku meratakan pliek ue di atas terpal biru, aroma asam dan pekatnya kelapa yang telah diendapkan berhari-hari menyeruak ke udara, baunya asam, lengket dan tajam. Anehnya aku suka aroma ini, apalagi jika Ibu memasak gulai pliek ue, potongan kacang panjang, nangka, buah dan daun melinjo, dan sayuran lain serta rempah-rempah menyatu dengan aroma pliek ue, apalagi jika Ibu menambahkan udang segar, aku bisa sampai lupa segalanya. Membayangkannya saja membuat air liurku tiba-tiba berkumpul di mulut.
“Putro, ayamnya diusir. Jangan bengong seperti itu, nanti habis pliek kita dimakan ayam,” tegur Ibu sambil memberikan sepotong ranting panjang padaku untuk mengusir ayam-ayam itu.
Aku menerimanya sambil tersenyum, dan menggoyang-goyangkan ranting itu untuk menakut-nakuti ayam-ayam milik Cek Husain. Entah kenapa ayam-ayam ini begitu menyukai pliek ue, mungkin lidah mereka sama dengan lidah ku, lidah pliek ue. Melihatku tersenyum-senyum sendiri, Ibu menggodaku, padahal aku sedang memikirkan lidahku dan lidah ayam-ayam itu.
“Kamu kenapa senyum-senyum sendiri, sedang jatuh cinta ya?,” goda Ibu. Aku tahu, Ibu sangat menginginkan aku meraih pendidikan setinggi-tingginya.
“Siapa yang mau menikah, Ibu tenang saja, aku tidak akan menikah sampai selesai kuliah dan bekerja,” ujarku.
Mendengar jawabanku, mata coklat ibu berbinar. Meskipun bekerja keras di sawah, setiap hari terpanggang matahari, Ibu tetap terlihat cantik, hidungnya mancung sempurna, bulu mata lentik, rambut ikal mayang dengan mata indah yang selalu berbinar. Namun sayang, kecantikan itu tidak menurun padaku. Aku mewarisi kulit legam Abah dan hidung besarnya dengan rambut lurus. Justru kakak laki-lakiku yang sangat mirip dengan Ibu. Tapi aku tidak pernah iri padanya, karena Ibu selalu mengatakan aku Puteri Bungsunya yang cantik.
Aku tidak tahu pasti, entah ibu tahu aku menaruh hati pada Cut Bang, mungkin nalurinya, aku tidak pernah bercerita pada ibu. Namun aku yakin ikatan batin kami, aku pernah hidup ditubuhnya, jika aku bahagia ataupun sedih pasti dia ikut merasakannya, begitu juga saat dangderia Cut Abang mencuri hatiku.
Aku juga tidak tahu, apakah ibu tahu, setiap pulang sekolah aku sering ke laut dan menunggu Cut Abang di sana. Memang tidak ada ikrar di antara kami, namun saat cinta mengambil alih, Puteri Bungsu bertekuk lutut pada lantunan hikayat cinta Cut Abang. Hampir setiap hari, aku menunggunya di pantai. Sesekali Cut Abang sampai duluan dan menungguku.
Di tepi pantai, pasir putih, laut biru, pulau hijau, tebing coklat, umang-umang, pohon pinus, karang, kepiting, kerang-kerang kecil menyaksikan kisah kami. Aku duduk manis di pasir, menyatu dengan butir-butirnya, Cut Bang duduk di hadapanku. Perlahan ia buka tas besar yang selalu dibawanya, Cut Bang menyiapkan peralatan dangderia. Aku duduk menatap setiap gerakannya, mengaguminya. Acara televisi yang dikagumi setengah mati oleh teman-teman tidak membuatku berpaling dari dangderia Cut Abang.
Cut Abang mulai beraksi, karena dangderia ini khusus untukku, aku bebas memintanya memainkan hikayat apapun, aku merasa betul-betul menjadi tuan Puteri. Pikiranku melayang, membuat hatiku bermain dengan awan. Rasa bahagia itu aneh, membuat gadis desa sepertiku merasa memiliki puri megah dengan pangeran tampan yang berusaha melawan naga demi menyelamatkan sang puteri.
Aku kagum dengan kesabaran Cut Abang, setiap hari aku memintanya membawakan hikayat Puteri Bungsu, dengan sabar ia menurutinya, dengan aksi yang sama memukaunya setiap hati, terkadang aku lebih heran dengan diriku sendiri, kenapa tidak pernah bosan dengan kisah itu. Kisah yang sama yang dimainkan semenjak aku masih duduk di bangku sekolah dasar.
Namun di sela hayalanku, aku tersadar, bukankah setiap bernafas kita mengulangnya setiap detik, namun kita tidak pernah merasa bosan bahkan membutuhkannya. Aku rasa begitulah perasaanku pada Cut Abang dan dangderianya, ia nafasaku, bagaimana bisa bosan. Sudah hampir setahun kami melakukan ritual ini di laut. Hanya aku dan Cut Bang, persembahan itu hanya untukku, tidak dibagi beramai-ramai dengan anak kampung lainnya.
Hari itu Cut Bang membawakan hikayat Putro Bungsu, episode keenam, saat  Malem Diwa memulai perjuangannya ke angkasa mengejar Puteri Bungsu. Tiba-tiba Cut Bang berhenti, ia berjanji akan melanjutkannya besok.
“Kenapa berhenti Cut Bang, lanjutkan lagi,” rengekku.
“Besok saja kita lanjutkan ceritanya, nanti orangtuamu khawatir jam segini belum sampai ke rumah,” jawab Cut Bang sambil membereskan alat-alat pertunjukannya.
Aku menurut saja, betul kata Cutbang. Nanti ibu mencariku, lagipula tinggal satu episode lagi. Kami berdua berjalan meningalkan pantai. Kutatap sekali lagi pasir tempat kami duduk tadi, butiran pasir itu pasti mencatat kisah kami.
Sejak Cut Bang berjanji melanjutkan kisah itu hingga usai, setiap hari aku menunggunya di pantai ini. Seakan-akan kisah kami terkunci di pantai ini. Setahun sudah tidak menyaksikan Cut Bang berdangderia, aku diliputi rasa rindu yang hampir melumpuhkan. Aku tidak berani bertanya kepada siapapun, rasa malu mengalahkan rasa rinduku.
Hingga suatu malam setelah setahun, kudengar Abah bercerita pada Ibu, sambil menikmati kopi pahitnya, Abah mengatakan Cut Bang sudah berangkat ke kota bersama saudara jauhnya.
“Ku dengar di warung kopi si Cut Bang bekerja di kota, jualan obat katanya,” ujar Abah.
Setahun tidak menyaksikan aksi Cut Bang, seperti ada sesuatu yang hilang di kampung ini. Seperti cincin yang engkau pakai betahun-tahun lalu kau lepas, pasti meninggalkan bekas di jarimu. Kepergian Cut Bang meninggalkan lubang di hatiku. Bukannya tidak ada yang punya bakat seperti Cut Bang, Tua-Muda di desa ini dapat beraksi seperti Cut Bang, namun di mataku hanya aksinya yang paling sempurna.
Dulu, aku sering menghayal kalau Cut Bang itu Malem Diwa yang jatuh cinta padaku, si Puteri Bungsu. Kepergiannya ke kota saat ini kuanggap Cut Bang sedang menyiapkan diri untuk menjemputku di kahyangan.
Mungkin menghayal menjadi semacam penawar bagi racun kehilangan yang merasuki tubuhku setahun ini. Malam hari di dalam kamar, ditemani derik jangrik dan nyanyian  katak, aku menghayal hingga lelah dan terlelap.
Suatukali saat Ibu mengajakku ke pasar, kulihat seseorang duduk bersila di pinggir jalan, dia berbicara dengan lantang, penekanan suaranya mengingatkanku pada Cut Bang, namun laki-laki ini sudah renta, berbeda dengan Cut Bang yang tampan. Tidak lama kemudian orang-orang mulai mengerumininya, seperti permen yang jatuh ke lantai dan diribungi semut. Aku ikut menjadi semut dan melihat aksi si orang tua renta berjualan.
Di atas terpal kumal berwarna debu, terhampar berbagai jenis obat-obatan, mulai dari yang berbentuk kapsul, pil, minyak gosok, hingga daun-daunan kering, kulit kayu, rempah-rempah. Dari obat kuat sampai obat kurap tersedia. Semua benda itu mengelilingi si kakek tua. Suara cemprengnya yang keluar dari pengeras suara kembali menggema. Sesekali dia bersyair, menarik perhatian pembeli. Caranya yang unik membuat kerumunan semakin lebar, menurutku, sebagian besar pengunjung lebih tertarik dengan gayanya dari pada dagangannya. Namun aku salut pada lelaki tua itu, diumurnya yang sudah sepuh, tapi masih bekerja, mencari nafkah, tidak  menadahkan tangan.
Aku jadi tahu seperti itulah pekerjaan Cut Bang, mungkin sesekali ia juga akan berdangderia di kota. Mungkin juga orang-orang kota menyukai aksi Cut Bang, dan ia mendapat banyak uang untuk meminangku. Sepertinya akhir-akhir ini hayalanku semakin menjadi-jadi. Jika hujan, aku memandang air itu turun dari langit kelabu, lalu singgah di dedaudan dan jatuh ke tanah. Tiba-tiba saja aku jadi suka hujan. Padahal waktu kecil aku tidak suka hujan, karena hujan menghentikan langkahku menikmati aksi Cut Bang, Ibu pasti melarang aku pergi.
“Nanti kamu sakit,” ujar Ibu waktu itu. ***

Waktu berjalan begitu cepat, kini aku sedang menyiapkan diri melanjutkan pendidikan hingga ke bangku perguruan tinggi. Aku, ayah, ibu, kakakku dan Nyak Diwan menemaniku ke terminal. Mereka akan mengantarkanku meraih mimpi dan cita-cita. Di tengah jalan kulihat warung kopi simpang lebih ramai dari biasanya. Orang-orang berdesakan. suara nyanyian dan musik menendang-nendang gendang telinga. Karena penasaran, rombongan kecil kami berhenti dan melihat lebih dekat. Dengan sedikit usaha kami berhasil masuk ke dalam dan menyaksikan sumber kegaduhan itu, seseorang duduk di atas meja, rambutnya dicat warna-warni dengan gitar ditangan sedang asyik bernyanyi.
Dari jarak sedekat ini, aku bisa melihat hidungnya yang menjulang sempurna. Cut Bang telah hilang belantara kota. Sosok bersahajanya lenyap, seperti disihir dengan tongkat sihir maha dahsyat hingga yang tersisa hanya makhluk asing.
Cinta dan citaku sepertinya tidak dapat berjalan seirama. Keduanya berjauhan, seperti langit dan bumi, hitam dan putih, dan aku harus menggapai salah satunya sebelum yang lainnya datang sendiri dalam keniscayaan. Biarlah untuk sementara cinta ini kutambatkan pada perahu bernama pada masa lalu, pada dangderia Cut Abang, sebelum Puteri Bungsu dijemput sang Pangeran di kahyangan. ***
Catatan:        
  1. Putri Bungsu ingin makan daging burung, Teungku Malem menuju ke hutan, kalau tidak menemukan seekor burungpun, biarlah hilang baju dan kain.
  2. Allah..e..putri bungsu
    .. biarpun mati
    Teungku Maleem.. oh ibu.. adinda.. pergi ke hutan..
    Berjumpa..oh ibu..dengan burung..tinggi
Setelah itu hilang baju dan kain..
karena disembunyikan..dibuang..dara dalam hutan..oh.buah hati
Dengan rapai..Malim Diwa saya rawi (Tgk. H. Adnan PMTOH)).
  1. Bumbu masak khas Aceh yang terbuat dari belimbing yang dijemur.



[2] Kampung/Desa
[3] Putri dalam bahasa Aceh
[4] Tgk. H. Adnan PMTOH

Cerpen ini telah dimuat di https://rayakultura.net/dangderia-cut-abang-karya-mellyan-cutkeumala-nyakman/ dan menjadi pemenang unggulan lomba menulis Obor Award 2013

Komentar

Popular Posts

Bukti Perkasa Inong Aceh

Menanti Kabut di Pucuk Para (3)

RUMAH TIRAM TAK LAGI TEMARAM