Hikayat Negeri Terapung [2]





Kisah Sebelumnya:
Kampung Terapung yang terletak di Aceh yang tenang tiba-tiba heboh dengan kedatangan Hasanuddin. Pria yang dulu adalah pria paling miskin di kampung itu, datang dari kota dengan dandanan mentereng dan memiliki uang. Rahasianya adalah proposal. Setelah itu, membuat proposal seperti menjadi buruan semua warga kampung. Kecuali Ramlah, seorang ibu tunggal yang harus menghidupi kedua anaknya dengan mencari ikan.


Ramlah lahir dari keluarga petani. Ia gadis yang lincah dan periang,  tiap hari membantu orang tua di sawah sepulang sekolah, dan malam hari mengaji. Sebenarnya, cita-citanya sederhana saja, ingin menjadi guru. Orang tuanya mendukung, Namun, saat itu tahun ‘80-an, kampus terdekat letaknya sekitar tujuh jam perjalanan menggunakan angkutan umum, yang ongkosnya setara dengan biaya hidup keluarga itu sebulan. 

Masa kanak-kanaknya diawali dengan kelahiran pabrik-pabrik raksasa di kampungnya. Penduduk yang awalnya hanya mengenal sepeda, menyaksikan mobil-mobil berukuran raksasa menggerus tanah mereka, membangun vila indah bak negeri dongeng. Tidak jauh dari perumahan indah itu dibangunlah perusahaan raksasa dengan kubah-kubah besar berwarna perak, benda raksasa itu menampung isi perut negeri ini.
Tiap hari, bersama teman-temannya, Ramlah menyaksikan mobil-mobil berseliweran di jalan kampung mereka. Seperi melihat benda asing, mulut menganga seperti lubang gua. 

Dua minggu kemudian, mobil-mobil itu bukan lagi benda asing, mereka bahkan tidak menoleh lagi untuk melihat benda itu lewat. Memang tidak ada yang abadi, termasuk kekaguman.

Saat jalan aspal lebar mulai dibangun, kembali anak-anak kampung, lebih-lebih anak laki-laki, membuntuti para pekerja, walaupun selalu diusir. Namun, anak-anak itu keras kepala, tetap menyaksikan bagaimana jalan tanah liat  lembek dan berlubang di kampung itu menjadi hitam dan keras. Mereka menyebutnya jalan hitam.
Tiba-tiba Ramlah seperti tidak mengenal lagi desanya. Yang sebelumnya gelap gulita di malam hari, kini malam sama terangnya dengan siang. Lampu-lampu menghiasi desa itu. 

Asing. Itulah yang dirasakan Ramlah, apalagi saat orang-orang asing mulai mengisi istana itu dan pabrik mulai beroperasi. Seakan ada sekat yang membatasi antara penduduk kampung dan tempat itu. Sekat transparan yang membuatnya berbeda dengan anak-anak pendatang itu. Mereka mengenakan pakaian-pakaian indah, rambut terkucir dengan pita warna-warni, tas cantik yang ia yakin harganya sangat mahal. 

Ramlah pernah berharap sekalian saja dibuat tembok raksasa antara penghuni vila dan penduduk kampung. Seperti Tembok Cina yang ia   pelajari di sekolah. Agar ia tidak melihat pemandangan itu. Sebenarnya, bukan Ramlah iri atau ingin seperti mereka, hanya saja ia sadar, kemudahan hidup yang dimiliki anak-anak itu memungkinkan mereka meraih cita-cita dengan mudah, tanpa rintangan biaya atau apa pun seperti yang dihadapinya.

Seandainya Ramlah tahu, tidak semua anak-anak dari keluarga kaya masa depannya juga cerah. Sebagian besar dimanjakan lingkungan, malas-malasan, mengandalkan harta orang tua. Si miskin dengan semangat besar sepertinya juga dapat meraih apa yang diinginkan. Namun, semangat, cita-cita besar, ternyata berbanding lurus dengan waktu dan situasi.

Seperti dirinya, sekeras apa pun ia berusaha, perang telah membekukan segala upaya, langkahnya seperti masuk ke adukan semen yang tiba-tiba mengeras, tidak mungkin digerakkan sama sekali. 
Suara tembakan itu, penculikan, penangkapan, memakunya di rumah. Kini masalahnya bukan hanya uang, tapi juga situasi. Ramlah terpaksa tunduk di bawah telapak kaki peperangan. 

***
Akhirnya setelah dua minggu, virus itu sampai ke telinga  Ramlah. Dari tetangganya, Ramlah mendengar, kini cukup mudah untuk mendapatkan uang, hanya dengan menuliskan beberapa kata di kertas dan dibawa ke kantor pemerintah, konon pemegang jabatan itu langsung memberikan segepok uang. 

Antara percaya dan tidak, Ramlah hanya mengangguk-angguk saat Sabariah bercerita sambil mengunyah sirih, bibirnya sampai mencong-mencong begitu. Sesekali tempias merah keluar dari bibirnya, mengenai tangan Ramlah. Tidak lama, Ramlah langsung beranjak ke rumahnya. Ia ingat, Sabariah, perempuan tua yang telah menjanda itu, tetap semangat  tiap hari, seperti memiliki energi lebih. Rambutnya telah memutih, tidak menyisakan satu pun warna hitam. Kerut-kerut seperti betah sekali menggerayangi seluruh tubuhnya. Mata cekung seakan-akan melesak keluar, dipayungi alis lebat yang herannya masih menghitam sampai saat ini.  Satu-satunya tanda bahwa dulu ia pernah muda dan sepertinya cantik. Sudah sepuluh tahun bertetangga. Banyak hal yang telah mereka lewatkan. 

Di rumah, hanya sebentar saja kata-kata Sabariah menggelayut dalam pikirannya, selanjutnya kata-kata itu menguap, secepat embun pagi disapu mentari. Ia kembali disibukkan dengan pekerjaannya  tiap hari. Lagi pula, ia berpikir, kalau mendapatkan uang sebanyak itu dengan segitu mudahnya seperti reklame di televisi, pasti itu hanya pemanis. Sari manis, awalnya manis, namun lama-kelamaan menunjukkan wujud aslinya, pahit dan membawa penyakit.  
“Wajah Anda akan putih dalam enam hari,” kata iklan di TV. Buktinya, setelah dipakai puluhan tahun pun tidak akan putih. Memang sudah dari sananya hitam mau diapakan juga tetap begitu.
“Keturunan kleng seperti kita kasihan, ya, Mak,” ujar anaknya  suatu kali, saat melihat iklan di televisi  Sabariah. Maklum, mereka belum mampu beli TV,  jadi  tiap ada sinetron bagus, mereka berbondong-bondong ke rumah Sabariah.
“Makanya reklame begitu jangan dipercaya, namanya juga orang jual obat.”
“Kok, obat,” tanya anaknya, bingung.
“Ya, obat kosmetik, obat putih, kalau mesti diubah berarti ada yang salah, ada yang sakit, berarti itu obat.”
“Mamak kalian memang paling bisa agar kalian tidak merengek minta uang untuk beli pemutih wajah itu,” Sabariah yang dari tadi sedang merajut akhirnya ikut menimpali.
Rumah kayu itu riuh dengan tawa. Memang terkadang bahagia itu datang bukan dari hal luar biasa, namun hal sederhana yang menyenangkan hati. 

****

Pagi hari, saat Ramlah sedang menyapu, Sabariah yang sedang membuka kios kecil di muka rumahnya kembali merayu Ramlah membuat proposal itu.
“Bagaimana? Kamu mau, ‘kan? Kita minta tolong sama Zaid saja nanti, kata orang-orang dia bisa bantu kita.”
“Tapi, apa mungkin?” Ramlah masih ragu.
“Ya, mungkin, apanya yang tidak mungkin, itu si Rosmawar yang rumahnya di desa sebelah sudah mendapatkan jatahnya.”
“Paling sedikit lima juta. Uang itu bisa untuk menambah modal kiosku yang hampir bangkrut ini,” Sabariah terus membujuk.
Setelah ‘virus’ itu menjangkiti Ramlah, ia pun, sama seperti penduduk desa lainnya, selalu membicarakan proposal. 
Sampai-sampai ia menjadi supersibuk, kesibukan ini di luar kebiasaannya. Sejak dua puluh tahun yang lalu ia telah meninggalkan kebiasaan ini. Seingatnya, terakhir kali ia berurusan dengan kertas dan pena saat masih SMP dan akhirnya tidak lulus karena masalah biaya dan ia menikah dengan Rahmat.
Dari kios tempat biasanya ia membeli kebutuhan sehari-hari, mereka lagi-lagi sedang membincangkan proposal. 
“Kalau mau dapat bantuan kita harus buat proposal dan bawa ke bapak-bapak di gedung pemerintahan itu,” ujar Aisyah.
“Apa itu proposal? Bagaimana cara membuatnya?”
“Pakai komputer buatnya,” jawab perempuan-perempuan itu, sok tahu.
“Komputer? Lihat saja belum pernah,” jawab Ramlah.
“Kamu sudah buat?”
“Sudah, dibuatkan oleh Zaid. Dia mau membantu kita membuat proposal bantuan. Beri saja dia uang rokok.”
 “Begitu, ya?”
“Bantuannya lumayan, jutaanlah.”

Mata Ramlah berbinar-binar mendengar angka yang disebut Aisyah.
Ia sudah membayangkan, uang itu bisa digunakan untuk biaya sekolah putri bungsunya dan untuk modal usaha ikan asinnya yang telah gulung tikar.
Sebenarnya Ramlah masih belum yakin dengan ajakan Sabariah, namun harapan itu kembali muncul di hatinya. Bukan apa-apa, ia pernah banyak kecewa berhubungan dengan kantor-kantor besar milik pemerintah itu. 
Ia ingat beberapa tahun yang lalu, saat mendapat berita bahwa korban konflik mendapatkan bantuan, buru-buru ia urus semuanya. Namun, sampai di sana, yang ia dapatkan hanya penolakan. Orang-orang yang tampak terpelajar di kantor-kantor itu tidak menggubrisnya. Sudah berjam-jam menunggu, katanya orang yang ingin ia temui sedang rapat, namun yang ditunggu tak kunjung muncul. Akhirnya, setelah menunggu seharian, ia pulang dengan membawa segenggam kecewa.
Tidak hanya sekali, namun berkali-kali. Ia belum jera untuk terus meminta haknya. Sampai akhirnya setahun yang lalu, ia mendapatkan uang yang dijanjikan dari kantor. Namun, jumlahnya hanya setengah dari yang dijanjikan.
“Setengahnya lagi untuk administrasi, Bu,” jawab laki-laki itu. 
Ramlah hanya tertunduk lesu. Lagi pula, ia tidak tahu apa artinya administrasi. Yang ia tahu, uangnya tinggal separuh. Dan itu tidak cukup untuk membayar  utangnya, apalagi menambah modal usaha. Menunggu bertahun-tahun, dipotong pula.
“Ramlah, bagaimana kalau hari ini kita buat proposal, kita minta tolong sekalian sama si Zaid,” suara serak Sabariah membuyarkan lamunannya.
Di antara kebimbangannya, Ramlah hanya menjawab, “Baik, Makcek.”
“Kalau begitu, nanti siang kita ke sana,” kata perempuan tua itu, bersemangat.

***

“Sepertinya itu rumah Zaid,” ujar Sabariah, menunjuk rumah beratap pelepah rumbia.
Sebenarnya tidak layak juga disebut rumah, hanya berupa anyaman bambu yang dipaku membentuk kotak, tanpa jendela, dengan atap pelepah rumbia. 
“Kalau rumahnya begini, bagaimana mungkin dia membantu kita, Makcek,” tanya Ramlah, sangsi.
“Kita coba saja dulu.”
Beberapa kali mengucapkan salam, seorang laki-laki muda keluar. Sepertinya ia baru saja bangun tidur. Kaus oblong hitam tipis membalut tubuhnya, celana pendek selutut, sarung menyilang di bahu. Sesekali pemuda itu menguap.
“Kami ke sini mau buat proposal,” serang Sabariah, tanpa basa-basi.
“Oh, boleh nanti saya bantu, tapi sekarang saya sedang sibuk,” jawab pemuda itu.
“Kalau begitu besok kami kembali ke sini,” jawab Sabariah cepat.
Keduanya kembali ke Desa Terapung. Ramlah yang sebenarnya kurang tertarik dengan ide proposal itu,  makin tidak yakin pemuda kurus kering yang terus-terusan menguap itu dapat membantu mereka. Sementara Sabariah, semangatnya masih berkobar, segarang mentari yang seakan membakar ubun-ubun mereka saat ini. Bahkan, angin yang bertiup pun tidak membantu memberikan kesejukan, hanya rasa kering. 

Keesokan harinya di rumah Zaid 
Zaid mengangguk-angguk, mendengar permintaan dua perempuan yang sebaya ibu dan neneknya itu.
“Nama Nenek dan Makcek?”
“Saya Sabariah, dan ini Ramlah,” tunjuk Sabariah kepada Ramlah.
“Tapi, bagaimana proposal kami bisa kamu kerjakan? Mesin ketik saja kamu tidak punya,” protes Ramlah.
“Oh, jangan khawatir Makcek, saya mengetik pakai komputer,” jawab Zaid, sambil tersenyum.
“Mana? Bagaimana bentuknya? Tidak ada apa-apa di sini,” tanya Ramlah, curiga.
Isi rumah Zaid sama mengenaskan dengan bentuk luarnya. Tidak ada apa-apa selain kayu yang dipaku membentuk dipan di sudut kamar, hanya beralaskan tikar dan satu bantal buluk. Bahkan, lantai gubuk itu beralaskan tanah. Perabotan makan hanya disusun ala kadarnya di sudut belakang rumah. Di atas rak kayu yang sepertinya buatan sendiri.
“Mungkin kita salah orang, Makcek,” bisik Ramlah pada Sabariah.
           Sepertinya keraguan Ramlah tertangkap oleh Zaid. 
           “Oh, jangan khawatir Nenek dan Makcek, saya mengetik memang bukan di sini, tapi di rental,”
“Rental?” tanya kedua perempuan itu, serempak.
“Ya, tempat penyewaan Komputer,” sahut pemuda itu cepat.
Meski tak paham, kedua perempuan itu mengangguk-anggukkan kepala. Waktu telah mengubah banyak hal, hingga meninggalkan mereka jauh di zamannya.
“Sekarang Nenek dan Makcek ikut saya ke sana,” ajak Zaid.
Setelah menutup pintu, bertiga mereka menembus panasnya kota itu. Gas di bawah kaki dan mentari di atas sana, kerja sama yang solid untuk membakar kulit. Peluh bercucuran, padahal Ramlah dan Sabariah menggunakan payung, sedangkan pemuda dekil berkulit hitam itu berjalan dengan entengnya. Seperti tidak merasakan panas. 
Setelah berjalan sekitar 20 menit, mereka sampai di toko-toko bercat putih. Jalanan berdebu membelah area pertokoan itu. Ada   toko pakaian, toko bangunan, sebuah bengkel, di samping bengkel itu, di sudut toko yang sedikit menjorok, mereka bertiga berhenti. 
“WARNET CUTBANG”. Tulisan berwarna merah itu tampak kontras di dinding kaca hitam. Tulisan itu menyamping, tidak tegak lurus. Ada tulisan 24 jam di sudut lain, dengan format lebih kecil. Setelah melepaskan alas kaki, ketiganya masuk. Seperti sudah akrab dengan pemilik warnet itu, Zaid langsung memilih tempat paling sudut. Sambil mengajak dua ‘klien’-nya. Kedua perempuan itu dengan pandangan takjub melihat tangan Zaid lincah bergerak di atas benda kecil berbentuk seperti tikus. 
Mereka memperhatikan sekeliling. Ruangan itu tidak terlalu luas, namun cukup menampung 10 komputer yang diberi sekat tripleks setinggi setengah meter. Komputer-komputer itu diletakkan di atas meja pendek, sehingga cukup nyaman dipakai mengetik sambil duduk. Hampir semua blok terisi. Semuanya anak muda, dengan ekspresi masing-masing.  Kedua wanita itu tiba-tiba merasa berada di tempat yang salah. Seperti memakai daster saat pesta perkawinan. Tiba-tiba perasaan risi  membayangi keduanya. Mereka saling berpandangan.
“Kenapa Nek, memang ini tempatnya anak-anak muda. Tapi, tidak ada larangan nenek-nenek tidak boleh ke sini,” ujar Zaid, sambil menyalakan komputer.
Mereka berdua kembali melirik keadaan sekeliling. Menatap sekat-sekat berisi anak-anak muda dengan beragam ekspresi. Ada yang senyum-senyum, ada yang cengengesan, ada yang serius, ada pula yang cekikikan sendiri. Tidak ada yang duduk bengong. 
Tiba-tiba kepala Sabariah terang-benderang. Ke mana perginya cucu laki-laki satu-satunya. Selalu saja menghilang di sekolah, selalu saja bolos mengaji. Ternyata,   di  tempat ini. Sabariah seketika bangun, dan berdiri di samping bocah laki-laki berumur 10 tahun itu. Ia sedang asyik dengan games di komputer, tidak mengubris neneknya yang sedang murka di samping wajahnya. 
Jari keriput itu seketika mampir ke jambang Yusuf. Anak itu kaget bukan main, siapa yang berani berbuat seperti itu padanya. Refleks tangan itu ia tepis. Dalam hati ia mengira itu Bang Taufik, penjaga rental yang geram karena ia telah melewati waktu satu jam gratisnya. Namun, ia sadar betul, baru sebentar memainkan games kesukaannya. 
“Kenapa tarik-tari jambang saya, Bang,” ujar anak itu, sambil mengusap-usap pelipisnya, tanpa melihat ke samping. 
“Ternyata kamu ke sini, ya,  tiap hari, menipu Nenek. Mau jadi apa kamu?” serang sang nenek.

Wajah Yusuf pucat, kulit gelapnya berubah ungu, seperti kehabisan darah. Baju seragamnya sudah berganti dengan kaus hitam dan masih mengenakan celana merah, seragam sekolahnya. Ia tidak menyangka sama sekali neneknya ada di warnet. Tempat anak muda menghabiskan hari. Ia merasa semuanya salah, seperti mimpi. Bayangkan,   nenek-nenek sedang di warnet untuk chatting. Bukankan lebih baik ia berada di masjid, mengaji atau mendengar ceramah? 
“Kenapa Nenek ada di sini?” tanyanya, tergagap.
“Untuk melihat pekerjaan kamu!” jawab Sabariah, kesal.
“Jadi selama ini sekolah dan tempat mengaji kamu pindah ke sini, ya?”
Anak itu hanya bisa menunduk.
“Ya, sudah, kamu pulang, kita selesaikan ini di rumah.” 
Dengan langkah gontai, Yusuf mendorong pintu warnet dan pulang ke rumah. Ketakutan memikirkan apa yang akan dilakukan sang nenek kepadanya. 

                                                                               Cerita Selanjutnya>>>>>>>


   *****
By: Mellyan Cutkeumala Nyakman

*) Tulisan ini pernah dimuat di Femina (https://www.femina.co.id) pada 12 Juli 2013 dan keluar sebagai Pemenang II Sayembara Cerber Femina 2013. 
**) Dimuat kembali diblog ini sebagai upaya pengarsipan tulisan. 

Komentar

Popular Posts

Bukti Perkasa Inong Aceh

Menanti Kabut di Pucuk Para (3)

RUMAH TIRAM TAK LAGI TEMARAM