Kenduri Apam


Oleh : Mellyan

              Mempertahankan tradisi warisan endatu merupakan tanggungjawab generasi muda.

Desa Alue Tampak Kecamatan Kawai XIV adalah salah satu daerah di Aceh Barat yang masih mempertahankan tradisi kenduri apam. Kenduri apam dilaksanakan oleh masyarakat setempat, para perempuan berkumpul dan bersukacita, mereka beramai ramai mengaduk adonan apam.
Di Meulaboh, rasa apam sedikit berbeda dari daerah lain. Karena selain menggunakan campuran tepung beras, santan, air putih, gula pasir dan garam. Menjadi ciri khas apam di Meulaboh adalah penambahan parutan kelapa dan air kelapa. Penambahan nasi juga menambah keunikan apam khas Meulaboh ini, sehingga rasanya lebih lembuh dan gurih.
Cetakan kue ini terbuat dari tanah liat yang dibentuk bulat dan memiliki gagang. Para Ibu terlihat kompak mengolesi pinggiran cetakan dengan air garam, tujuannya agar adonan tidak lengket. Apam yang dibakar menebar harum ke sepenjuru gampong. Apam yang telah matang terlihat menggugah selera, bagian atasnya putih dan bawahnya kuning kecoklatan.
Mereka bersuka cita menyambut kenduri apam. Sebagian mengaduk adonan, sebagian yang lain memasak. Ada yang membantu mengangkat apam yang sudah matang bahkan sebagian ada yang mengipas api agar selalu menyala.
Adonan tersebut dimasak bersama-sama di bawah jambo oleh ibu-ibu yang dipersiapkan oleh kaum lelaki. Kebiasaan saling berbagi tugas sudah kental sejak zaman dahulu di Aceh.  Sejak zaman endatu dalam berbagai litaratur disebutkan, antara adat dengan agama merupakan satu bagian yang tidak dapat di pisahkan. Praktek adat dan budaya mencerminkan ciri khas syariat Islam.
Salah satu budaya yang telah lama di wariskan secara turun menurun dalam masyarakat Aceh pada bulan Rajab adanya kenduri "Toet Apam". Tradisi ini sudah mengakar dan memiliki nilai filosofi yang sangat mendalam baik dari perspektif agama maupun sosial budayanya.
Salah seorang orientalis yang lama tinggal di Aceh dan sempat menamai dirinya dengan nama Teungku Putih, dia adalah Hurgronje (1985:250) mengemukakan asal usul "Kenduri Apam". Menurutnya,  dikisahkan pernah ada seorang dalam masyarakat Aceh dulunya yang ingin mengetahui nasib orang di dalam kubur, terutama tentang pertanyaan-pertanyaan yang diajukan oleh malaikat-malaikat kubur munkar Nakir dan hukuman-hukuman yang mereka jatuhkan, ia berpura-pura mati dan dikuburkan hidup-hidup. Segera ia diperiksa oleh malaikat mengenai agama dan amalnya, karena banyak kekurangan maka orang tersebut dipukul dengan pentungan besi.
Tetapi pukulan tersebut tidak dapat mengenainya, sebab ada sesuatu yang tidak dapat dilihatnya dengan jelas dalam kegelapan dan mempunyai bentuk seperti bulan seolah-olah melindunginya dari pukulan. Ia berhasil keluar dari kuburan dan segera menemui anggota keluarganya dan terkejut melihatnya kembali. Ketika pengalaman ini diceritakan, diketahuilah bahwa yang menolongnya sewaktu dipukul di kubur bulat seperti bulan adalah kue apam yang sedang dibuat oleh keluarganya.
Terlepas dari kisah tersebut, Kenduri apam memiliki nilai filosofis yang tinggi. Masyarakat diajarkan untuk berbagi. Nilai sedekah dan sosial serta kepedulian antar sesama yang ditumbuhkan melalui budaya kenduri apam ini. Dulu, Apam tidak dimasak dengan kompor atau kayu bakar, tetapi dengan on ue tho (daun kelapa kering). Malah dahulu orang-orang percaya bahwa Apam tidak boleh dimasak selain dengan on ue tho ini. Masakan Apam yang dianggap sempurna, bila permukaannya berlubang-lubang sedang bagian belakangnya berwarna coklat kekuningan.
Apam paling sedap bila dimakan dengan kuahnya, yang disebut kuah tuhe, berupa masakan santan dicampur pisang klat (sejenis pisang raja) atau nangka masak serta gula. Apam dapat pula dimakan bersama kukuran kelapa yang dicampur gula. Kue apam ini berbentuk bundar. Sekilas apam terlihat mirip Serabi, hanya yang membedakan bentuknya lebih besar serta beberapa adonan dasar. Melihat tekstur, kuah, serta wangi yang begitu menggoda, membuatnya apam begitu menggoda selera.  Anak-anak biasanya terlihat berebutan kue apam.
Jika mempunyai sanak keluarga yang tidak merayakan kenduri apam, maka pihak yang mengadakannya kan mengirimkan kepada keluarganya. Kenduri ini juga menjadi ajang berbagi dan mempererat silaturahmi antar keluarga.
Menurut Dr Hasballah M. Saad, dalam tulisannya disebutkan kenduri  menjadi ciri khas masyarakat Aceh. Dalam Masyarakat Aceh bila mempunyai hajat, ketika mendapat kenikmatan sesuatu atau ditimpa musibah, biasanya melaksanakan kenduri. Kenduri atau disebut juga khanduri itu sebagai pengabdian atau tanda ingat kepada Yang Maha Kuasa. Kenduri itu dilakukan dengan menjamu saudara, tetangga dan kerabat untuk makan bersama   terutama dengan mereka yang kurang mampu. Maka ada istilah kenduri hidup dan kenduri kematian. Kenduri sering dikaitkan dengan status sosial (orang kaya atau tokoh masyarakat).
Dalam sistem penanggalan Aceh, penamaan bulan disesuaikan dengan peristiwa tertentu. Bulan Maulud dinamakan untuk bulan bulan yang dengan khanduri maulid Nabi. Bulan puasa dinamakan bulan ibadah. Demikian pula buleuen  Apam (bulan  apem). Karena sepanjang bulan itu orang Aceh melakukan kenduri Apam. Bulan Apam ini sama dengan bulan Rajab dalam sistem penanggalan Hijriah.
Pada bulan Rajab banyak sejarah penting terjadi dalam sejarah Islam.  Oleh karena itu, orang Aceh mensyukuri peritiwa penting dengan melakukan syukuran menyajikan apam sepanjang bulan itu. Para pejalan kaki atau siapa saja yang lewat sebagai musafir, selalu dijamu tanpa harus diundang  terlebih dahulu,  tak ada kewajiban membawa buah tangan untuk tuan rumah. Apam diantar ke meunasah, atau balai balai umum di desa. Untuk disantap oleh siapa saja. Berbagai jenis apam tersedia, mulai dari apam kuah tuhe (Apam dengan kolak pisang) atau apam ue (apam dengan parut kelapa), tergantung status sosial yang punya hajat. Konon dahulu kala ada seorang yang dihormati bernama Abdullah Rajab, wafat tanpa ada yang mengkhandurikannya. Maka siapa saja berkemudahan, dianjurkan untuk kenduri Apam, guna mengenang kematiannya.
            Kenduri apam kini di Meulaboh masih dilakukan dibeberapa desa. Namun untuk daerah kota Meulaboh, seperti telah melupakan tradisi ini. Tidak terlihat kesibukan untuk menggelar tradisi ini di Kota Meulaboh. Hanya masyarakat di pinggir kota yang masih mempertahankannya. Hal tersebut tentu sangat disayangkan mengingat budaya tersebut sangat menarik dan unik untuk terus dipertahankan dan diwariskan kepada  generasi penerus.
Sejarawan dan pemerhati Adat Aceh, Teungku Abdurrahman Kaoy menyatakan, tradisi kenduri apam sudah ada sejak zaman Kesultanan Aceh. “Di Aceh banyak sekali kenduri. Ini menandakan bahwa dulu Aceh memang negeri yang makmur. Salah satu kendurinya yaitu kenduri apam.
Kenduri apam diperingati bertepatan dengan bulan Rajab, Menurut Abdurrahman, Rajab bagi orang Aceh atau umat Islam sebagai bulan mulia. “Salah satu peristiwa besar dalam bulan rajab adalah Isra’ Miraj.” Masyarakat Aceh menjadikan Rajab sebagai bulan meningkatkan amalan dan saling berbagi, salah satunya lewat kenduri apam.
Makna kenduri apam, kata Eli, salah seorang ibu-ibu yang ikut memasak apam bersama di Alue Tampak, antara lain sebagai bentuk rasa syukur atas nikmat Allah. Kemudian mempererat silaturrahmi, menolak bala, dan membangun kesadaran umat agar mengingat Allah, terutama menjelang bulan suci Ramadhan. Apalagi dengan kesibukannya sebagai Pegawai Negeri Sipil (PNS), ia sangat jarang berkumpul dengan tetangganya. Dengan adanya kenduri seperti ini, ia memiliki kesempatan untuk bercengkerama dengan keluarga dan handai taulan.
Ia juga bercerita, apam dulunya juga dikenal sebagai penganan sanksi. Jika seorang laki-laki tidak salat Jumat tiga kali berturut-turut, maka si lelaki itu wajib menyedahkan 100 apam kepada warga kampungnya.Generasi millenials dan generasi Z bertanggungjawab untuk melestarikan tradisi-tradisi warisan endatu ini agar tidak tergerus kemajuan zaman. []


Komentar

Popular Posts

Bukti Perkasa Inong Aceh

Menanti Kabut di Pucuk Para (3)

RUMAH TIRAM TAK LAGI TEMARAM