Menanti Kabut di Pucuk Para (2)


Rumah panggung itu tak sekedar rumah, tempat Ceudah dilahirkan dan dibesarkan dengan penuh cinta. Rumoh Aceh bukan sekadar tempat hunian, tetapi juga ekspresi keyakinan terhadap Tuhan dan adaptasi terhadap alam. Tiang-tiang besar dari kayu terbaik berjumlah 24, menyangga rumah dengan kokohnya. Meskipun tidak menggunakan paku, hanya pasak dan tali pengikat, rumoh Aceh bisa bertahan hingga ratusan tahun. Rumah Aceh juga dibangun berbentuk memanjang dari Timur ke Barat, arah Barat mencerminkan upaya masyarakat Aceh untuk membangun garis imajiner dengan Ka’bah yang berada di Mekkah.
Rumah itu memiliki beberapa ruangan, seuramoe keue tempat Abah sering menerima tamu-tamu penting, seuramoe teungoh, ruangan favorit Ceudah, tentunya selain kamar. Seuramoe likot, dan dapur yang menjadi tempat favorit Ummi. Di dapur, ia sering melihat sang Ibu meracik bumbu-bumbu yang disimpan di dalam pelepah pinang tua. Jika ruangan depan atau seuramoe keue digunakan sebagai ruang menerima tamu, berbincang maka seuramoe tengoh atau ruang tengah adalah inti dari rumah Aceh.
“Kau lihat Ceudah, ruang tengah ini lebih tinggi dari ruangan lainnya? Ini Namanya ruang Inong, ruang perempuan. Lebih tinggi sebagai bentuk penghormatan kepada perempuan,” ujar Ratna Keumala kepada putri semata wayangnya. Ruang belakang digunakan sebagai ruang makan, bercengkerama seluruh anggota keluarga.
Bagian bawah rumah atau Ceudah sering menyebutnya yup meh ini biasa digunakan para ibu sebagai tempat menenun songket. Songket buatan Ummi sangat indah, dan Ceudah mewarisi bakat menenun songket dari sang Ibu.
Ia paling senang menenun motif Bungong Geulima. Indah bentuknya, dalam maknanya. Bahkan sang Ibunda sering mengatakan ia adalah Bungong Geulima dihati sang Ibu. Bunga syurga yang diturunkan untuk melengkapi keluarga kecilnya. Hati Ceudah selalu berbunga-bunga meski sang Ibu sering mengulang-ulang cerita itu. Warnanya yang gemerlap, merah, kuning, dipadukan dengan benang emas dan perak. Menambah keanggunan songket tenunan Ceudah.
 “Dulu, tiang penyangga rumah yang tinggi ini agar terhindar dari binatang buas dan banjir, intinya menghindari bahaya,” ujar sang Ibu saat bercerita tentang rumah mereka yang indah.
Ceudah telah mendengar cerita tentang rumah yang dihuninya sejak kecil. Bahkan hingga kinipun, ia masih bangga dengan rumahnya, meskipun beberapa rumah Aceh mulai menghilang, seperti milik Safwan, sahabatnya. Mereka telah merobohkannya dan membangun rumah gedong.
Ceudah sedang menyapu halaman yang ditumbuhi pohon pinang dan kelapa yang berjejer, beberapa kembang sepatu sedang mekar. Terlihat begitu menawan bersama wangi Seulanga dan Melati. Di matanya rumah itu terlihat megah, meskipun beberapa bagian kayu terlihat lapuk. Sudah lebih seratus tahun, sejak kakeknya membangun rumah itu.
Guci air di dekat anak tangga selalu terisi penuh, sering digunakan untuk mencuci kaki sebelum melangkah ke dalam rumah. Ceudah selalu menyukai guci hitam mengkilap itu. Menurut Ummi, guci itu sama usianya dengan rumah mereka.  
Setiap orang yang datang harus selalu bersih, baik itu tubuh maupun hatinya,  memiliki niat yang bersih,” sang Ibu senang berbagi berbagai kisah dengan Ceudah.
Ukiran ukiran di rumah itu, mulai dari awan, pepohonan, hingga bebungaan, selain keindahan seni tinggi, namun juga menunjukkan sisi religi. “Kita tidak menggambar dan mengukir makhluk bernyawa,” begitu kata sang Ibu suatu ketika.
Biasanya, setelah selesai dengan kegiatan bersih-bersih, Ceudah juga membantu Ibunya menjemur bumbu-bumbu. Pliek ue ia hamparkan di atas tikar anyaman pandan yang sudah menguning, akibat sinar matahari.
“Kita simpan dalam situek, agar tahan lama. Kamu harus faham ini Ceudah, agar suamimu betah di rumah, masakan enak itu berasal dari bumbu,” ujar Ratna sambal mencolek pinggang anak gadisnya.
Sang gadis hanya tersenyum malu, pura-pura sibuk menebar pliek ue, kelapa yang telah diparut dan difermentasi ini nantinya akan dijadikan bahan dasar gulai pliek ue, atau sambal pliek ue.  Jika Ratna memasak gulai Pliek, ia pasti akan membagi-bagikan kepada tetangga dan sanak keluarga. Satu kuali besar biasanya habis dalam sekejab. Abah ikut membantu sang istri memetik kelapa, hingga mengupas nangka, dan memotongnya kecil-kecil, daun mangkokan, daun ubi dan kacang tanah, bahkan udang, semuanya didapat dari sekitar rumah. Selain kebun, Abah juga punya tambak udang. Ukurannnya kecil, namun cukup untuk kebutuhan keluarga mereka.  
Setelah selesai dengan pliek ue, Ceudah mengambil belimbing yang sudah direndam air garam dan menjemurnya beberapa hari hingga berubah kuning kecoklatan dan kering. Belimbing kering ini nantinya akan menjadi bumbu utama dalam setiap masakan, rasanya perempuan Aceh tak bisa memasak tanpa asam sunti, dan lelaki Aceh seolah akan berpaling dari piring jika istri-istri mereka lupa menambahkan sunti dalam masakan.
“Lidah asam sunti,” kelakar Ratna suatu hari.
            “Nah, ini cuma ada di gampong kita Ceudah,” Saat itu musim durian, Ratna mengumpulkan durian-durian untuk difermentasi menjadi ­jruek drien.
Gulai bersantan, dengan melinjo, daun ubi, kacang panjang, dan udang besar mengapung-apung di kuah santan. Kunyit, cabai, bawang, sereh, jeruk purut, daun kari dan fermentasi durian, menjadikan makanan ini favorit keluarga Ceudah. terutama Zarkasyi, ia bisa menghabiskan semangkuk gulai Jruek dalam sekejab. Biasanya Abah hanya geleng-geleng kepala melihat tingkah anak bujangnya.
            Kampung Ujong rimba memang terletak paling ujung dari desa-desa lain. Setelah rumah-rumah kayu yang sebagian telah berganti beton, kini hanya Desa Ujong rimba banteng terakhir menuju hutan. Tempat banyak tumbuhan langka dan obat-obatan tumbuh, rumah para hewan. Dan tentunya tempat yang menjadi alasan Ceudah dapat menyaksikan kabut setiap pagi turun hinggap di pucuk Para.
            Abah Panglima Uteun yang cerdas, agar masyarakat tidak menebang pohon hingga ke dalam hutan, sehingga pepohonan besar di dalam hutan sana tetap terjaga. Ia mengajak masyarakat menanam pohon karet atau Para. Pohon Para itu di tanam di pinggiran hutan. Selain getahnya bisa diambil untuk dijual, hutan tetap terjaga keasriannya.
 Setelah kepulangannya dari desa seberang, sang panglima langsung mengadakan rapat mendadak dengan anggotanya. Ia sering melihat Abahnya mengumpulkan para petua gampong karena suatu masalah. Misalnya ada yang melanggar adat dan mencari solusi serta hukuman dengan efek jera.  
                                                                                                                Bersambung...


Komentar

Popular Posts

Bukti Perkasa Inong Aceh

Menanti Kabut di Pucuk Para (3)

RUMAH TIRAM TAK LAGI TEMARAM