Menanti Kabut di Pucuk Para
Oleh: Mellyan
Cutkeumala Nyakman[1]
Awan hitam yang sejak tadi menggantung akhirnya luruh.
Hujan deras mengguyur Gampong Ujong
Rimba. Hamparan padi yang mulai ranum terlihat indah dengan bulir hujan di
pucuk daunnya, pepohonan bergoyang ditiup angin. Hujan masih menghentak-hentak.
Kerbau-kerbau semakin asyikmasyuk dalam kubangan. Dapur-dapur mulai mengepulkan
asap. Ubi, jagung, kacang, hingga pisang rebus tersaji bersama kopi pahit, tawa
renyah ditingkahi hujan, kabut mulai menyelimuti, hinggap hingga ke pucuk Para.
Hawa dingin menambah kesan magis, indah dan penuh pesona.
Sepasang
bola mata coklat dengan alis melengkung indah menatap takjub kabut yang naik
perlahan hingga menutupi pohon meranti. Pemandangan yang sama sebenarnya, telah
ia saksikan hingga usianya yang ke 18. Namun rintik hujan dan kabut selalu
mampu menerbitkan rasa di hatinya. Lebih tepatnya kali ini menutupi kegundahan
hati dengan menatap bulir hujan yang mencumbui bumi.
Simalakama,
demikian posisinya kini. Jika rahasia ini terbongkar, keluarganya yang harmonis
bisa berantakan, namun di sisi lain ia takut kehilangan pemandangan indah yang
selalu dinantinya setiap saat. Ceudah, seperti namanya, tak seorangpun
menafikan kecantikannya. Hidung bangirnya, rambut hitamnnya, pipi yang seakan
selalu merona, dan matanya, iya matanya adalah daya tarik. Tidak hanya bentuknya
yang indah, namun pandangan yang meneduhkan, sekaligus tajam pada saat
bersamaan, dengan binar yang memabukkan. Namun kali ini mata itu sedang
dirundung gelisah.
Beberapa
minggu sebelum hujan dan kabut datang, seperti biasa Zarkasyi, Abangnya sibuk
melinting rokok bersama para pemuda gampong.
Dari kamarnya ia mendengar mereka bercerita sambil terbahak. Tentang
anaknya Teungku Harun yang cantik mempesona. Tentang Bungong yang tubuhnya
indah. Obrolan para pemuda itu membuat Ceudah jengah. Ia buru-buru mematikan pelita
di sudut kamar. Pelita sering meninggalkan jejak hitam di lubang hidungnya.
Tiba-tiba para pemuda itu tak lagi bebicara tentang tubuh perempuan, tawa
mereka berubah obrolan serius, mereka terdengar berbisik-bisik. Namun Ceudah
tidak tertarik, ia berusaha memejamkan mata. Hatinya masih gundah, karena kabut
dan hujan belum bertandang.
Namun bisik-bisik telah mengusiknya. Rumah berdinding
kayu itu memungkinkannya mendengar pembicaraan di ruang sebelah. Apalagi di
tengah malam buta seperti itu, tak ada suara lain. Begitu sepi, bahkan jangkrik
tak berderik. Ia mendengar semuanya malam itu, meringkuk dan menarik selimut,
matanya tak mau terpejam hingga azan berkumandang.
Rumah panggung itu sedang sepi, hanya tinggal Ceudah
dan Zarkasyi. Ummi masih menemani Abah bertandang ke desa seberang, mengunjungi
kerabat mereka yang sakit keras. Jika kondisi Teungku Ismail membaik, mungkin
esok kedua orangtuanya sudah kembali. Dan hari ini ia menunggu kepulangan
orangtuanya dengan perasaan gundah gulana. Ingin segera mengabarkan apa yang
didengar atau berpura-pura tak pernah mendengar apapun. Simalakama.
Bersambung...
Komentar
Posting Komentar